#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-23
SAJADAH HIJAU
Hempasan angin sore menyingkap kelambu
asrama sekolah di bukit Nuris. Sekolah Favorit. Aku di sini semua karenaMu ya
Alloh. Tiada yang lain. Bagaimana mungkin aku seorang anak dari keluarga tidak
mampu. Karena kau beri aku sebuah pemikiran yang menurut mereka cerdas padahal
menurutku aku hanya anak yang beruntung. Beruntung memiliki ibu yang selalu
mendoakan, rela ditinggal di rumah oleh anaknya untuk mencari ilmu. Dalam
sajadah hijau ini kulihat senyum ibu yang selalu tulus. Akan kutulis setiap
hari puisi-puisi untuk ibu. Aku yakin Tuhan tahu dan mengabulkan keinginanku
suatu hari ketika aku sudah lulus nanti.
Sajadah Hijau
Dalam hempas angin sore
Ada wajah ibu dalam sajadah
Mengulum senyum di ujung waktu
Menahan rindu untuk bertemu
Mengukir kasih di sela-sela isak
Ibu...........
Aku merindumu jua dalam simpanan angin waktu
aku menunggu bisa dalam dekapmu
Suasana terasa sunyi. Sore ini
anak-anak semua ke ruang tamu menerima kunjungan keluarga. Aku tak bisa
berharap itu. Ibuku pasti sedang mengumpulkan uang agar setahun sekali baru
bisa ketemu di asrama mewah ini. Rumahku dengan bukit Nuris ini amat jauh.
Butuh traspot banyak. Butuh naik pesawat. Ah jangankan untuk naik peasawat tiap
bulan untuk makan tiap bulan sudah bersyukur. Biasanya ibu hanya mengirimkan
surat dan uang saku lewat pos. Ah ibu semoga aku punya waktu untuk membalas
semua perjuanganmu.
Sore ini kubuka surat dari ibu pertama
kali di Bukit Nuris ini.
Salam
kangen dari ibu yang hanya bisa menulis doa untukmu. Kuharap kau di tempat baru
tabah dalam menuntut ilmu. Sebab ayahmu juga berjuang di negeri orang untukmu
mencari ilmu. Semoga kau dan ayahmu tetap dalam lindungan Alloh SWT. Jangan
Lupa Sholat. Ibu yang berharap kau
berhasil.
Tak kusadari buliran bening ini
mengukir kertas yang kubaca. Aku tak boleh menangis. Aku harus belajar. Supaya
beasiswaku tak sia-sia. Supaya harapan ibu tak sia-sia. Aku tahu ibu
menyembunyikan keadaan ayah. Selama ini ibu selalu bilang ayah bekerja. Tapi
aku tak pernah lihat ibu terima kiriman uang dari ayah. Tapi ibu selalu
memberiku kesan bangga pada ayah. Ibu selalu bilang kalau ayah dulu pamit
kerja. Semoga ini benar. Kubuka foto ayah yang diberikan ibu padaku. Ah menurut
ibu aku mirip ayah benarkah? Kulihat memang benar. Ah semoga ayah berhasil dalam
bekerja. Semoga pikiran-pikiran burukku karena ayah tak pernah kirim uang sama
ibu dihapus oleh Tuhan.
Hari semakin malam tugas sudah hampir
selesai kukerjakan. Tinggal beberapa halaman saja. Ah setelah selesai aku ambil
air wudhu, sholat malam. Kudoakan ibuku yang setia menunggu di rumah. Kudoakan
ayahku yang wajahnya kulihat hanya lewat foto saja. Semoga Tuhan berikan aku
waktu suatu hari bertemu dengan ayah dan bisa bersama ibu. Sampai hampir pagi
aku baru bisa tidur.
********************
********* *********************
Tak terasa aku
sudah hampir satu tahun sekolah di sini. Tentu rasa rindu kepada ibuku tetap
terasa. Meski sudah hampir terbiasa dan aku sudah tidak suka menangis lagi
ketika debar rindu ini ingin bertemu dengan ibu. Buku-buku puisiku yang kutulis
tentangku dan kerinduaku pada ibu sudah terbit. Ah menjadi tambahan
penghasilanku juga walau belum begitu banyak. Sebagian kusimpan aku berharap
nanti ketika ibu hendak berkunjung aku bisa memberikan kejutan uang saku dan
baju-baju kesukaan ibuku. Semua kutabung di bank terdekat. Aku juga sudah mulai
punya sahabat. Selsa namanya. Ia sangat baik. Menurut orang-orang di sini aku
seperti anak kembar. Bagai pinang dibelah dua wajahku dan Selsa. Dia pandai
juga. Bahasa Inggrisnya sangat lancar. Satu kamar juga denganku. Ah anaknya
meski agak bawel tapi sangat peduli. Ia selalu memberiku oleh-oleh dari orang
tuanya. Kue, buku senantiasa berbagi denganku.
Suatu sore waktu aku dan Selsa belajar
tiba-tiba foto ayah terjatuh. “Ah siapa ini?” tanya Selsa. “Ayahku.” “Jawabku.
Ah masa wajah ayahmu mirip sekali dengan ayahku. Bagaimana mungkin.” “Ah kembar
kali, kembar wajah maksudku.” Aku menimpali sambil bergurau. “Ah lihat kurepro
ya di hpku biar kuberitahu ayah bahwa kita tidak hanya kembar wajah tapi kembar
ayah.” Ah kamu tidak tahu Selsa bahwa itu tidak kembar, kalau ayahmu perhatian
tiap dua bulan sekali ke sini. Selalu kirim transfer uang untukmu. Tapi ayahku.
Namun aku tak mungkin ini kuceritakan padamu Selsa. Biarlah ini menjadi
rahasiaku bersama ibu. Karena ibuku berpesan agar mendoakan ayah saja. Tidak
boleh menceritakan atau menanyakannya.
Malam hari. Sedang belajar di ruang
tengah Asrama. Aku belajar bersama Selsa. Tiba tiba pintu asrama diketuk.
“Selsa ayahmu datang dan ingin mengajakmu jalan-jalan,” kata pengurus asrama.
“Baik!” Selsa menghambur menghampiri ayahnya. Aku berdiri bengong melihat sosok
ayah Selsa yang benar-benar kembar dengan foto ayahku. “Dewi Ayu?” Tiba-tiba
ayah Selsa menyebut nama ibuku. “Kau mirip sekali Dewi Ayu.” “Siapa Dewi ayu
tanya Selsa.” “Dia adalah istri papa juga. Sebelum aku menikahi mamamu. Waktu
itu dia baru berumur satu tahun anak gadis kami ketika kami harus bercerai.”
Rasanya dunia berputar benar-benar gelap. Tapi aku harus kuat aku tidak boleh
pingsan. Benarkah ini ayahku juga ayah Selsa. Kata ibu ayah bekerja, ternyata
ia menikah lagi dan memiliki anak sebaya denganku sekolah di sini sama
denganku. Dahiku serasa mengkerut. Aku belum percaya.
Malam ini Selsa jalan-jalan bersama
ayahnya. Aku tadi juga diajak tapi aku belum siap. Aku belum bisa menerima
bahwa dia ayahku. Bagaimana ini terjadi. Kenapa ibu begitu menyembunyikanku
tentang semua ini. Kenapa? Pasti nanti kalau pulang akan kutanyakan semuanya.
Oh ibu ingin aku pulang menemuimu. Tapi jarak begitu jauh. Dan sekolahku masih
enam bulan lagi. Aku harus bertahan. Aku harus lulus. Pukul sembilan malam
kenapa Selsa belum pulang juga. Kenapa aku memikirkannya ya. Padahal ia adalah
anak dari orang yang merebut ayahku selama ini. Ah tapi dia baik padaku. Selalu
berbagi. Ia juga tidak tahu kisah ini semua pantaskah aku membencinya. Aku
tidak boleh membencinya. Ibuku tidak pernah mengajari membenci orang lain.
Tuhan maafkan aku yang belum bisa menerima bahwa bahwa ayah Selsa juga ayahku.
Pintu kamar terbuka. Seorang gadis
ceria menenteng belanjaan. Ia buka semua kue-kue dan baju belinya dua. “Kau
tahu kenapa ayah membeli dua.” Aku hanya menggeleng kepala. Selsa nerocos.
“Semalam ayah sudah bercerita banyak padaku.” Katanaya. “Sebelum menjengukku ke
sini, ayahku bertemu dengan ibumu di sebuah kota tempat ayah bertugas. Dari
pertemuan itu ibumu bercerita pada ayah bahwa anaknya juga putri ayahku sedang
sekolah di sini. Sejak itulah ayah memberiku uang saku dobel yang kuberikan
padamu. Aku semula juga tidak mau menerima. Tapi melihat kelembutanmu padaku di
sini juga cerita ayah aku berfikiran tidak ada alasan aku untuk membencimu.
Maka kuberikan semua uang saku yang dititipkan ayah padamu. Kuharap kau tidak
membenci ayah. Ya ayah kita. Lihatlah kau juga dibelikan baju dan kue-kue. Lain
waktu kau jangan menolaknya untuk pergi bersama kita saat kunjungan. Aku sudah
menerimamu sebagai saudara. Kuharap kau menyayangiku. Suara Selsa bagai
membelah batinku. Aku hanya diam. Secara reflek kamipun berpelukan. “Aku tidak punya
saudara di sini. Saudaraku hanya kamu. Bagaima denganmu apa juga menganggapku
saudaramu?” “Ya, kau saudaraku. Tiba-tiba aku bisa bicara. Selsa suka mendengar
itu.
****** *********
********* ******
Akhirnya kami pun selesai sekolahnya.
Dan hari ini akan wisuda. Aku sudah janji dengan ibu kewat telepon. Beberapa
bulan lalu ayah membelikan aku dan ibu telepon genggam agar kami bisa
komunikasi. Bajuku dan Selsa di belikan kembar sama ayah. Sore ini terasa indah
karena ibu sudah akan tiba di sini untuk menghadiri acara wisudaku besuk. Aku
dan selsa menunggu orang tua kami di taman sekolah. Kulihat ada mobil ayahnya
Selsa merapat di parkiran dekat taman. Kenapa masih terasa ayahnya Selsa,
terasa bukan ayahku. Kulihat mobil terbuka pintu depannya. Lalu keluar sopirnya
dalah ayahnya ee ayahku juga. Lalu turun sekarang membuka pintu sebelah kiri.
Tampak seorang perempuan sangat cantik dan anggun. Oh jantungku terkejut antara
rindu dan kaget. Betaba itu ibuku. Tapi kenapa bisa bersama ayah. Suara nyletuh
dari bibirku terdengar oleh Selsa. “Rumi, ku panggil kau kak Rumi sebab umurmu
lebih tua empat bulan dari aku. Kukembalikan ayah pada ibumu padamu juga dengan
mengijinkan ayah meniahi ibu Dewi ayu. Kuharap kau tak menolak ini dan bisa
memaafkan ayah juga ibuku. Aku mohon kak. Dan jangan nodai wisuda keberhasilan
kita dengan kisah sedih masa lalu. Sekarang kuharap ayahku juga ayahmu. Dan
ibumu juga menjadi ibuku karena ibuku telah tiada.” Kami pun berpelukan dengan
erat. Dan tangan ibuku merangkul kami berdua. Rasanya tak ada alasan lagi aku
jengkel sebab inilah yang kupinta setiap malam dalam di atas sajadah hijau.
0 komentar:
Posting Komentar