Blog kepenulisan

Kamis, 24 Mei 2018

Puisi Asmaul Husna 31-36 event



#Event_1_hari_1_Puisi_dalam_100_hari
#JisaAfta
Puisi ke-31  tahap-2

Al Khabiir

Seluas apa dunia dan isinya?
Jangankan mengenal dan mengetahui luasnya
Mengenal satu bagian tubuhku saja aku perlu belajar
Mengapa tubuh bisa berkeringat
Mengapa mata bisa berkedip

Apa yang bisa membedakan warna-warna
Siapa yang menyensor motorik  dan mengawasi begitu telitinya
Hanya Alloh Al Khaabir yang maha teliti dalam pengawasan
Mengenap segenap yang Dia ciptakan
Bahkan lebih mengenal dari makhluknya

Al Khaabir....Al Khaabir.....Al Khabir
Yang memberi aku rasa ingin mengawasi diri
Yang memberi aku pengetahuan memahami diri sendiri
Tanpa Al KhaabirMu  aku laksana patung tanpa ruh
Diam memaku bisu tanpa tahu

Ria, 14 Mei 2018



#Event_1_hari_1_Puisi_dalam_100_hari
#JisaAfta
Puisi ke-32  tahap-2

AL Haliim

Ketika hati bertabur kemarahan
Menyeruak menghantam jiwa
Berputar dalam angan membentuk pusaran angin dalam hati

Al Haliim Engkau maha penyabar
 Untuk  meletuskan sebuah gunung masih kau beri tanda-tanda
Ada asap, suara gemuruh, gempa

Al Haliim....Al Haliim....Al Haliim...
Engkau sabar memelihara tumbuhan mulai tunas hingga berjunta pohon dan buahnya
Engkau sabar memelihara janin hingga dewasa
Engkau sabar mendengar keluh kesah setiap insan

Al Haliim lindungi aku dari kemarahan yang merajalela
Genggamlah kemarahan jiwaku yang membara
Hingga padam di ujung  kasih dan sayang

Ria, 14 Mei 2018


#Event_1_hari_1_Puisi_dalam_100_hari
#JisaAfta
Puisi ke-33  tahap-2

Al Azhiim

Siapa yang berani merasa tinggi
Pasti akan merasakan sebuah kerendahan yang amat suatu hari
Dialah kekasih yang paling kasih
kuat yang paling kuat
 kehalusan yang paling lembut
memiliki cinta yang maha cinta

Al azhiim melebihi  segala sifat  
Melewati  dari yang sempurna

Hanya Dia yang bisa mencapai puncak kesempurnaan penciptaan

Al azhiim....Al azhiim....Al Azhim
Sebab al AzhiimMu kami kami semua ada
Karena Al AzhiimMu kami semua  akan binasa
Akibat Al AzhiimMu kami memiliki kelengkapan sikap

Ketika aku terpuruk tak memiliki daya
Untuk mengelak, untuk mencipta, untuk mencinta, untuk marah, untuk bertanya, untuk meminta, untuk mengatur, kuserahkan semua pada Al AzhiimMu
Hasilnya kuserahkan padaMu


Ria, 16 Mei 2017





#Event_1_hari_1_Puisi_dalam_100_hari
#JisaAfta
Puisi ke-34  tahap-2

Al Ghafuur

Tuhan Allohu Robbi
Ketika aku lupa bahwa kau yang menciptakanku Engkau mengampuni
Kutak ingat segala nikmat yang Kau beri, Engkau memaafkan

Kadang dalam sedekapku masih mengingat rekening kami yang belum terpenuhi
Uang jajan anak-anak, uang sekolah, uang kuliah telah menjadi hijab pertemuanku denganMu
Engkau tetap memaklumi

Setiap hari aku ingat-ingat lupa padaMu
Tetapi Engkau selalu memberkahi hidup kami

Al Ghafuur....Al Ghafuur...Al Ghafuur maha pengampun
Mengapa di sebut maha, karena dia yang menciptaka rasa mengampuni dalam diri manusia
Karena Engkau pemilik pengampunan sejati tanpa sakit hati dan dendam diri

Al ghafuur....Al Ghafuur....Al Ghaffur
Semua telah terbuka pintu rahmatnya
Karena satu kata ampunan dariMu
Suatu hari aku pernah menghancurkan micro organikmu
Lewat sampah-sampah kimia
Suatu saat aku pernah mencuri waktumu saat bekerja
Suatu hari aku pernah alpa menyimpan namaMu di hati

Engkau mengingatkanku penuh bijak
Dengan pening di kepala
Aku tak merasa
Besuknya Kau beri rizki yang sangat luas maka bertambah lupa
Ya Alloh aku berteduh terus di bawah pengampunanMu
Sebagai puncak kasih sayangMu

Dalam buliran bening dosa-dosaku yang menetes di sepertiga malammu
Aku bermunajat menggapai ridhoMu

Ria, 16 Mei 2018








#Event_1_hari_1_Puisi_dalam_100_hari
#JisaAfta
Puisi ke-35  tahap-2

As Syakuur

As Syakur mengawasi amal-amal kecilmu
Mencatat dalam buku-buku pahala
Membalasnya dengan berlipat
Lebih dari bunga tabungan di dunia
Yaitu satu banding sepuluh

As Syakuur bersembunyi di balik  jiwa-jiwa penuh syukur
Membuat hati dan jiwa tentram sepanjang waktu
Penghilang sedih tanpa sebab
Dalam sesak dada kala kusebut

As Syakuur.... As Syakuur aku mencariMu di tengah-tengah padang gersang gelora jiwa
Yang menampung pilu dan sembilu linu
Dalam hempasan padang pasir hati
Kutemukan cahaya As Syakuur memeluk rasaku
Menyusup dalam gagapnya hati
Menjadi hamdalah dalam celah sesaknya kalbu

Ria, 16 Mei 2018

#Event_1_hari_1_Puisi_dalam_100_hari
#JisaAfta
Puisi ke-36  tahap-2

Al ‘Aliy

Maha tinggi dimana  aku tak menjangkau
Sebab tingginya langit saja rahasiaMu yang tak bisa kutempuh
KemualiannMu tak mampu kuhitung
Aku tak bisa menggambarkan dengan akalku yang terbatas dalam semilir ciptaanMu

Meski kurasa dalam degup jantungku dan seluruh getar nadiku ada dalam pengawasanMu
Tapi aku tak tahu sekekar apa rengkuhMu
PelukMu membuatku bersujud dalam segala titahMu

Tak kuasa aku makar dari segala kemauanMu
Wahai Al ‘Aliy Engkau pemilik derajat yang sempurna sampai di puncak tahta tak ada yang menyaingiMu






Bergulir rindu ingin naik ke puncak sunyi Engkau hadir dalam kedipku dan matiku
Ah rahasia kemulyaan, ketinggianMu terjaga dengan sempurna
Yaa Al ‘Aliy.... Engakaulah pemilik kerajaan paling tinggi dunia dan akhirat

Ria, 16 Mei 2018
Share:

TAMAN MISTERI-CERPEN EVENT



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-31
 
TAMAN MISTERI
Karya: Riami

Malam ini benar-benar menjadi hal yang luar biasa. Bagi gadis cantik yang berprofesi sebagai detektif. Ah tidak mudah menjadi detektif. Apa lagi wanita. Selain butuh nyali, butuh keahlian khusus, juga ahli bela diri. Paling sulit adalah ahli mencium masalah. Atau hal-hal yang tidak wajar dalam sebuah kasus. Kali ini  Azeni Gangan mendapat tugas untuk mengusut kematian wanita misterius. Sebab sudah tiga kasus serupa terjadi di daerah ini. Di sebuah kota kecil bernama Stenlyst  telah terjadi penculikan gadis dan belum ditemukan. Ketiga gadis itu setelah ditelusuri pernah pergi kencan bersama seorang laki-laki tampan. Tetapi setelah berkencan dinyatakan hilang.

Malam ini tugas diterima. Meski untuk itu semua dia ditemani sepuluh detektif pria dan dilengkapi dengan alat perekam yang canggih yang bisa langsung terhubung dengan kantor kepolisian kota. “Azeni, kenapa kamu berani malam-malam masih berada di Halte ini? Aku temani ya?”, tanya seorang lelaki tampan kekar dan simpatis penampilannya. Seperti aroma anyir ditangannya. Azeni hanya mengangguk. “Sedang tidak ada yang antar Bang, abang dari kerja.? Menurut perkiraanku jam delapan masih ramai ternyata sudah sepi. Jadi kuputuskan untuk telepon kakakku.” Jawabku mulai ingin berbincang dengan pemuda itu. “Kenalkan namaku Xenko kamu siapa?” “Azeni Gangan.” “Nama yang bagus. Apa tidak ada yang menjemput?” “Ada masih mau saya telepon,” jawabku.  “Kuantar pulang mau ya Ning?” “Apa abang tidak kejauhan nanti pulangnya?” “Tidak kebetulan abang pulangnya searah dengan Ning Azeni.” “Tidak biasa diantar orang yang belum saya kenal. Besuk saja kalau pulangnya agak siang ya. Ini aku sedang menunggu taxi.” “Baiklah. Boleh minta nomor telepon?” “Boleh 085555978643,” Oke kucatat.

Malam semakin pekat. Pukul sembilan. Azeni dijemput oleh teman seprofesinya. Di perjalanan tidak banyak bicara. Karena begitulah sesama detektif tidak boleh banyak bicara yang tidak penting di jalan. Sampai di rumah ia mandi air hangat, ganti baju dan hendak tidur. Sudah hampir terpejam Hpnya berdering. “Hai, masih ingat denganku?” “Masih Bang Xenko?” “Ada apa malam-malam telepon?” “Bisakah kita mengenal lebih dekat?” “Maksudnya?” “Ya misalnya besuk kita siang bersama. Atau kapan hari bisa refresing bersama.” “Dimana kalau refresing.” Di Vilaku bagus pemandangannya.” “Oh iya, boleh mengajak teman Bang?” “Tidak boleh lah jadi gak seru. Dan banyak teman bikin dompet abang kehilangan banyak isi ATM.” “Ah Abang pelit ah.” “Ya udah boleh.” Siang itu aku dan temanku mengahadiri undangan Xenko ke Vilanya. Berada di puncak sebuah bukit Vila ini sangat keren. Sungguh menakjubkan.

“Sebenarnya kamu kerja di mana? Vilamu keren banget?” “Kerja di perusahaan ayahku. Sebuah perusahaan tekstil.” “Ow berapa hari sekali kamu kemari?” “Dulu setiap minggu. Tapi setelah putus dengan pacar saya jadi malas. Baru kali ini saya kemari lagi.” “Yang merawat taman itu siapa bunganya indah sekali.” “Ada Juru taman setiap hari datang, kecuali hari Minggu dan tanggal merah.”

Setelah perkenalan dan tiga kali bersama temanku aku mulai beraksi ke sini sendiri hanya bersama Xenco. Hari sudah hampir magrib sampai di Vila. Aku solat dulu. Ketika aku ambil air wudhu di kamar mandi belakang seperti kudengar suara rintihan. Ah, apakah hanya perasaanku saja? Aku tidak mengerti. Lalu aku sholat di sebuah kamar kosong. Di sini di sebuah Vila yang besar milik Xenco tidak ada tempat untuk sholat. Karena itu aku memilih ruang kosong dekat gudang. Lagi-lagi suara rintihan menggoda sholatku. Seperti suara wanita. Kukirim pesan pada temanku. Suara mencurigakan dengan bahasa sandi. Selesai sholat aku melihat-lihat. Ada taman di dekat kamar kosong. Banyak tulisan relief tentang cinta. Gambar-gambar wanita cantik. Seperti ada nyawanya. Tiba-tiba sekelebat bayangan telah menarikku ke dalam gudang kosong. Tapi sangat menyeramkan. “Kamu jangan ke taman itu. Sungguh aku di sini dalam bahaya. Sudah tiga orang yang dibunuh oleh pemuda itu. Aku tak tahu alasannya. Tapi dia mengajak berdansa di taman itu lalu membunuhnya.” “Ow.” Aku pura-pura takut. Atau agak takut ya.

“Lalu kamu kenapa di sini?” “Saya juga baru kemarin diajak ke sini. Lalu aku di sekap di gudang ini. Tadi ketika juru taman  membuka gudang aku keluar. Dan malam kemarin aku melihat sendiri di bawah sorot lampu taman seorang gadis di tusuk dengan pisau. Setelah itu dikubur di taman itu. Lalu di tutup dengan rumput taman dan bunga-bunga dalam pot. Salah kita terlalu mudah terjebak pemuda tampan. Bagaimana ini.” “Tenang! Jangan berinsik!” “Tenang bagaimana!” Seru gadis itu hampir tak terdengar. “Kau bisa bela diri. Bisa sedikit. Dulu aku pernah belajar silat tapi tidak sampai selesai.” “Baik itu cukup menjadi bekal kita untuk lari.”

          ***  ***  ***
Hari mulai gelap. Kami berdua berencana ingin keluar dari Vila itu. Tapi sampai di depan taman yang penuh relif itu tiba-tiba Xenco menyapaku. Hee mau kemana kau cantik. Kita belum berdansa. “Jangan ikut berdansa kata gadis itu. Nanti kau pingsan.” Aku segera sadar. Segera kupakai alat penutup wajah dan hidung agar tak bisa menghirup udara yang berbahaya. Alat yang kupakai sayangnya hanya membawa satu. Dengan alat ini semua zat bisa tambar. Kasihan gadis ini pasti nanti pingsan.

Betul malam ini kusaksikan Xenco mengajak gadis itu berdansa dan sepertinya kulihat dia tak sadarkan diri. Tiba-tiba kulihat sebilah belati di keluarkan dari pinggangnya. “Plak!” kusepak tangannya dan jatuhlah belati itu. Dengan tendangan itu Xenco tidak sadar bahwa telah memancing seluruh temanku untuk hadir di lokasi kejadian yang sedang ku alami.

Tetapi kelompok detektifku belum masuk dalam ruang taman rahasia penuh misteri itu. Aku terlibat perkelaian yang sangat seru. Kami berlarian sepanjang lorong di dalam Villa itu. Ternyata ada jalan menuju semak belukar yang berada di belakang Vila itu. Vila ini tampak sendiri. Tidak ada tetangga. Sehingga menjerit seberapa pun kamu tak akan ada yang mengerti. Setelah itu kami duel. Dan prak tendanganku tepat mengenai rahangnya. Dia terjatuh. “Aku mulai sadar. Kau bukan gadis seperti biasa. Pasti kau sedang membuntutiku untuk mau membawaku ke penjara. Aku tidak mau. Aku akan membunuhmu!” “Jangan lebih baik kamu menyerah daripada kutembak. Lalu pemuda itu pun mengeluarkan sebuah pistol. Benar-benar orang kaya. Sebab hanya orang kaya dan mendapat izin yang diberi hak untuk memiliki senjata. Baku tembak pun terjadi. Ow serasa puluru ada di pelipisku. Hampir saja. Kubiarkan dia menembak duluan dengan pistolnya yang berbunyi itu. Duz ... terpaksa kulumpuhkan dengan senjata rahasiaku. Kutembak satu kakinya. Kulihat dia masih menembak tapi pelurunya sudah habis. Seperti hendak mengambil peluru lagi. Duz... kutembak lagi dibagian tangannya. Door! Aku masih mendengar suara itu dan kulihat lenganku berdarah.

Wah kenapa temanku belum juga datang. Aku berlari. Bersembunyi di balik patung dalam dalam taman itu. Aw tiba-tiba kakiku terperosok. Ternyata ada jalan lagi menuju seperti rumah kecil di pinggir danau. Kami pun tetap melanjutkan pergulatan. Di sini kulihat dia menangis. “Kamu tahu? Kenapa aku menangis. Di sinilah ayah dan ibuku dibunuh. Oleh seorang wanita. Karena itu aku selalu mengajak wanita-wanita itu kemari untuk kutunjukkan pada ayah ibuku. Bahwa aku telah berhasil menemukan pembunuhnya. Dan aku sendiri yang akan menghabisinya.” Kulihat dia membuka pintu rumah kecil itu. Meski agak takut kuikuti dia. Ada dua tengkorak dalam rumah kosong itu. “Inilah ayah ibuku yang dibunuh itu. Apakah itu temanmu?” Dia bertanya padaku. “Bukan aku tidak memiliki teman seorang pembunuh. Lalu itu tengkorak siapa?” Tengkorak ini adalah ayah dan ibuku.” “Ya kau mengambilnya di mana. Di ruang gudang sebelah. Berikan padaku untuk diteliti.” “Tidak aku tak kan memberikan padamu. Dan pada detik berikutnya tiba-tiba sebuah belati kecil menancap di kakiku. Dia lihai sekali meski kelihatan lemah. Dan aku tak berdaya. Setelah itu aku tidak tahu apa-apa. Yang kutahu aku sudah dibawa temanku detetif lainnya ke rumah sakit. “Kau sudah aman. Kau benar-benar detektif wanita yang tangguh.” “Tapi aku belum bisa meringkus penjahatnya. Penjahatnya sudah kami ringkus tinggal menunggu proses pengadilan. Ow Terasa bisa bernafas. 
Share:

BAJU LEBARAN - CERPEN EVENT



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-30

BAJU LEBARAN
Karya: Riami

          Senja di Kaki langit semakin memerah ketika Deno bermain dengan teman sebayanya. Mereka semua membicarakan baju lebaran yang telah dibelikan orang tuanya. Ada yang bercerita sudah dibelikan satu bulan yang lalu, ada yang baru minggu lalu, pokoknya menyenangkan bagi teman-teman Deno yaitu Ryan, Putra dan Yeyen. Mereka semua menceritakannya dengan penuh gembira tanpa memperhatikan perasaan Deno. “Yan bajumu berapa stel?” “Dua, satu baju takwa dan yang satunya baju model kempol, yang ini bagus banget kata ibuku mahal.” “Wah aku tiga stel ada yang baju hem juga. Celananya modenya beda-beda.”
          Dengan sedih Deno mendengar cerita temannya. Ia hanya diam saja.  Ingin sekali membuka celengan ayamnya yang terbuat dari plastik untuk di buat beli baju. Deno berlari ke rumahnya. Bocah kelas tiga SD itu langsung menuju kamarnya. Ia ambil celengan plastiknya dilihatnya sudah penuh. Ia jarang sekali jajan meski hanya diberi uang saku tiga ribu rupiah. Karena jarak sekolah dekat ia biasanya bawa bekal nasi dan air putih dari rumah kalau ada kegiatan sekolah misalnya pramuka. Lalu ia beli gorengan seribu untuk makan. Diteguknya air putih yang dibawanya di botol aqua bekas. Ah tapi dia tidak pernah murung di sekolah. Wajahnya selalu optimis. Pandai sekali ia dalam semua bidang. Kenaikan kelas tahun kemarin ia juara umum di kelas dua. Di kelas tiga ini dia juga juara lagi. Karena itu orang tuanya tak pernah sibuk berfikir tentang biaya sekolah Deno meski sekolah di Sekolah Dasar Favorit. Hanya Deno kurang beruntung nasipnya. Ayahnya yang hanya bekerja sebagi penarik becak itu sering sakit.
          Malam ini ia buka celengan ayam berbahan plastik itu menggunakan pisau. Dilihatnya betapa berjubel uang dua ribuan dalam celengan ayamnya. Ada sebagian yang lima ribuan dan sepuluh ribuan. Ada beberapa lembar yang dua puluh ribuan. Itu semua kalau sedang ada saudara ke rumah lalu diberi uang saku dimasukkannya juga dalam celengan ayamnya.  Ah hatinya senang sekali. Dihitungnya jumlahnya ada delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah. Ah ini pasti cukup untuk membeli baju lebaran untukku dan  buat adikku si cantik Ratri.
          Dia sendirikan lembaran-lembaran dua ribuan, lima ribuan, puluhan dan dua puluhan ribu itu. Tetapi masih banyak yang dua ribuan. Bahkan ada yang agak kumal. Ditaruh diplastik uangnya. Lalu dia  bilang kepada ibunya. “Bu ini uang celengan saya ada delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah bu. Aku ingin sekali beli baju lebaran. Semua teman-teman sudah beli baju.” “Iya nak besuk kita ke toko dekat dekat sini saja sebab kalau ke kota nanti ongkosnya dua kali lipat. Kau paham?” “Paham Bu.” Seperti biasa Deno tak pernah protes. Dia selalu mengiyakan apa yang dikatakan ibunya. Deno juga sangat menyayangi Ratri adiknya. “Hore kita beli baju ya kak?” “Iya sabar ya masih menunggu uangnya ngumpul.” Meski sudah ada Deno tidak bilang. Sebab Ratri selalu minta segalanya dengan cepat.
                   ***  ***  ***
          Sore hari ini semua tampak ceria. Mereka bertiga akan pergi ke toko pakaian di pasar malam desa dekat mereka tinggal. Ratri si bungsu imut suka sekali. Dia meloncat kegirangan. Saat mereka mau berangkat. Mobil angkutan desa berhenti di depan mereka. Ayahnya mengikuti sampai di teras. Tiba-tiba saat akan naik ke angdes ayahnya pingsan. Jantungnya kambuh. Semua bingung. Ini hari libur. Dokter dekat rumah tutup. Akhirnya berbekal kartu Indonesia sehat iya pun pergi ke IGD Puskesmas. Dokter memeriksanya. Dua hari opname di puskesmas. Belum ada perbaikan yang signifikan.
          “Bu, Bapak harus dirujuk ke rumah sakit, sebab ada alat dan obat yang gtidak disediakan oleh puskesmas untuk perawatan bapak. Dan Bapak harus di rawat di poli jantung yang tepat. Agar sakitnya tidak semakin parah.” “Iya Dok.” Mendengar itu semua terpikir uang baju lebaran milik Deno sudah kepakai seratus ribu rupiah. Meski semua biaya perawatan sudah ditanggung BBJS tapi kendaraan dan bebera hal untuk kepentingan menunggu ayahnya kemarin sudah aku gunakan. Dan beberapa dari selama menunggu di puskesmas aku tidak bisa bekerja. Pikir ibu seorang diri.
          “Deno ayah harus dirawat di rumah sakit, bagaimana uangmu?” “Pakailah bu. Itu uang ibu juga. Sekarang tinggal berapa? Tujuh ratus lima puluh dua nak.” Bawalah yang enam ratus untuk bekal menunggu ayah selama rawat inap di rumah sakit. Biarlah yang seratus lima puluh ribu untuk adik beli baju dan makan kami berdua selama ibu tidak ada di rumah.” “Kau memang anak yang baik. Ibu terharu. Masih sekecil ini kau sudah mengerti tentang hidup. Ibu berangkat ke rumah sakit ya nak. Titip adikmu di rumah.” “Iya bu jangan khawatir, kami akan rukun. Silakan ibu tunggui ayah hingga sembuh.”
          Pagi yang cerah. Bulan puasa yang ke enam tanpa ayah dan ibu di rumah.  Mereka kakak beradik. Deno dan Ratri. Ayok kita nanti beli baju.” “Kak deno juga?” “Uangnya kak Deno biar dipakai untuk berobat ayah. Dan kak Deno masih punya baju tahun lalu. Masih bagus. Yuk nanti kita beli baju untuk Ratri.” “Hem kalau kakak punya celengan plastik, Ratri juga punya kak. Kalau kakak punya baju tahun lalu Ratri juga punya. Jadi kali ini kita mending sama-sama gak beli baju lebaran. Karena ada yang lebih penting yaitu kesehatan ayah. Heem lihat celengan Ratri. Celengan Ratri dari tanah liat. Dibantingnya ke tanah. Banyak sekali uang seribu rupiahan bahkan ada yang lima ratus rupiah. Karena uang aku Ratri lebih sedikit dari aku. Alasannya dia masih SD kelas satu pulangnya agak pagi dan lokasinya dekat. Tapi ternyata dia juga masih menyisihkan uangnya. Kami menghitung berdua uang celengan Ratri. Ada tiga ratus ribu rupiah. Ini untuk perawatan ayah juga ya kak. Biar ibu tidak pinkjam ke mana-mana. Ah saya kira adikku masih kecil. Ternyata dia juga paham kondisi. Aku heran sekaligus kagum. “Kata ustatku di Mushalla kalau lebaran itu yang penting puasanya.” “Oh iya, apa lagi kalau uang itu untuk orang tua kita. Pasti hebat. Pasti kita nanti disayang Tuhan. Kami pun tertawa dan berangkulan.
          “Assalaamualaikum!” “waalaikum salam.” “Eh bang Darjo. Masuk Bang.” “Ada apa, Bang?” “Aku tadi ke rumah sakit jenguk ayahmu. Kulihat ibumu menangis di depan kamar jenazah.” “lalu bang?” “Katanya ayahmu meninggal dunia. Dan aku kemari untuk membantu persiapan di rumah untuk menyambut jenazah ayahmu nanti.” “Innalillahi wainna ilaihi roojiuun. Ratri. Semoga kamu kuat nduk.” Ratri menagis sejadi-jadinya. Bahkan sampai bang Darjo memberinya minuman dari tetangga. Katanya biar Ratri tenang. “Aku ingin ayah sembuh. Kak. Aku tidak beli baju tidak apa-apa kak. Kenapa ayah meninggal kak. Kenapa kaaaakkk!” Suara Ratri hampir seperti tercekik. “Ratri umur kita tidak ikut memiliki. Tuhan sayang sama ayah kita. Karena itu dia memanggilnya. Lihatlah Tuhan memanggil saat bulan puasa. Ini bulan penuh berkah. Penuh ampunan. Ayah pasti sudah di sediakan tempat di surga. Dan dibebaskan dari rasa sakitnya.” Deno menghibur Ratri. Meski sudah agak diam tapi masih terisak di pangkuan Deno. Orang-orang semakin banyak yang berdatangan untuk takziah. Apa lagi Ayahnya Deno aktif di kampung sebelum dia sakit.
          Mobil ambulan datang. Suaranya meraung memecah kesunyian. Berhenti tepat di depan rumah Deno. Jenazah diturunkan dari ambulan. Tempat untuk memandikan sudah disiapkan. Tampak masih segar dan tampan mayat ayahnya Deno. Deno juga ikut memandikan. Ratri kecil hanya melihat sambil memegangi baju ibunya. Masih terisak dia. Dan sudah disiapkan di masjid dekat rumahnya untuk menyolatinya. Didengarkan Sie kesra Desa memberikan sambutan. “Assalaamualaikum Warohmatullohi wabarookaatuh. Yang terhormat bapak ibu yang hadir dalam acara pemberangkatan pemakaman bapak Hainudin. Perlu kami sampaikan secara pribadi bahwa selama hidup bapak Hainudin adalah orang yang baik dan supel dalam bergaul buktinya ia selalu aktif kegiatan kampung. Apa menurut bapak ibu juga begitu?” “Yaa baik.” Terdengar jawaban pelayat serentak. “Apakah bapak Hainudin punya tanggungan?” “Tidak” Malah ada salah satu warga yang maju. “Saya pengurus koperasi desa, Pak Hainudin masih punya tabungan sebesar limaratus ribu rupiah. Biasanya diambil menjelang lebaran. Nanti pengurus akan ke rumah duka sambil mengantar santunan. Terima kasih.” Akhirnya Jenazah ayahnya Deno pun diberangkatkan ke makam umum Desanya. “Deno!” Ibunya merangkul Deno. “Kita akan kehilangan Ayah untuk selamanya bu.”
Share:

Advertisement

BTemplates.com

Elegant Themes

Advertisement

Popular Posts