#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-30
BAJU
LEBARAN
Karya:
Riami
Senja di Kaki langit semakin memerah
ketika Deno bermain dengan teman sebayanya. Mereka semua membicarakan baju
lebaran yang telah dibelikan orang tuanya. Ada yang bercerita sudah dibelikan
satu bulan yang lalu, ada yang baru minggu lalu, pokoknya menyenangkan bagi
teman-teman Deno yaitu Ryan, Putra dan Yeyen. Mereka semua menceritakannya
dengan penuh gembira tanpa memperhatikan perasaan Deno. “Yan bajumu berapa
stel?” “Dua, satu baju takwa dan yang satunya baju model kempol, yang ini bagus
banget kata ibuku mahal.” “Wah aku tiga stel ada yang baju hem juga. Celananya
modenya beda-beda.”
Dengan sedih Deno mendengar cerita
temannya. Ia hanya diam saja. Ingin
sekali membuka celengan ayamnya yang terbuat dari plastik untuk di buat beli
baju. Deno berlari ke rumahnya. Bocah kelas tiga SD itu langsung menuju
kamarnya. Ia ambil celengan plastiknya dilihatnya sudah penuh. Ia jarang sekali
jajan meski hanya diberi uang saku tiga ribu rupiah. Karena jarak sekolah dekat
ia biasanya bawa bekal nasi dan air putih dari rumah kalau ada kegiatan sekolah
misalnya pramuka. Lalu ia beli gorengan seribu untuk makan. Diteguknya air
putih yang dibawanya di botol aqua bekas. Ah tapi dia tidak pernah murung di
sekolah. Wajahnya selalu optimis. Pandai sekali ia dalam semua bidang. Kenaikan
kelas tahun kemarin ia juara umum di kelas dua. Di kelas tiga ini dia juga
juara lagi. Karena itu orang tuanya tak pernah sibuk berfikir tentang biaya
sekolah Deno meski sekolah di Sekolah Dasar Favorit. Hanya Deno kurang
beruntung nasipnya. Ayahnya yang hanya bekerja sebagi penarik becak itu sering
sakit.
Malam ini ia buka celengan ayam
berbahan plastik itu menggunakan pisau. Dilihatnya betapa berjubel uang dua
ribuan dalam celengan ayamnya. Ada sebagian yang lima ribuan dan sepuluh
ribuan. Ada beberapa lembar yang dua puluh ribuan. Itu semua kalau sedang ada
saudara ke rumah lalu diberi uang saku dimasukkannya juga dalam celengan
ayamnya. Ah hatinya senang sekali.
Dihitungnya jumlahnya ada delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah. Ah ini
pasti cukup untuk membeli baju lebaran untukku dan buat adikku si cantik Ratri.
Dia sendirikan lembaran-lembaran dua
ribuan, lima ribuan, puluhan dan dua puluhan ribu itu. Tetapi masih banyak yang
dua ribuan. Bahkan ada yang agak kumal. Ditaruh diplastik uangnya. Lalu
dia bilang kepada ibunya. “Bu ini uang
celengan saya ada delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah bu. Aku ingin sekali
beli baju lebaran. Semua teman-teman sudah beli baju.” “Iya nak besuk kita ke
toko dekat dekat sini saja sebab kalau ke kota nanti ongkosnya dua kali lipat.
Kau paham?” “Paham Bu.” Seperti biasa Deno tak pernah protes. Dia selalu
mengiyakan apa yang dikatakan ibunya. Deno juga sangat menyayangi Ratri
adiknya. “Hore kita beli baju ya kak?” “Iya sabar ya masih menunggu uangnya
ngumpul.” Meski sudah ada Deno tidak bilang. Sebab Ratri selalu minta segalanya
dengan cepat.
*** ***
***
Sore hari ini semua tampak ceria.
Mereka bertiga akan pergi ke toko pakaian di pasar malam desa dekat mereka
tinggal. Ratri si bungsu imut suka sekali. Dia meloncat kegirangan. Saat mereka
mau berangkat. Mobil angkutan desa berhenti di depan mereka. Ayahnya mengikuti
sampai di teras. Tiba-tiba saat akan naik ke angdes ayahnya pingsan. Jantungnya
kambuh. Semua bingung. Ini hari libur. Dokter dekat rumah tutup. Akhirnya
berbekal kartu Indonesia sehat iya pun pergi ke IGD Puskesmas. Dokter
memeriksanya. Dua hari opname di puskesmas. Belum ada perbaikan yang
signifikan.
“Bu, Bapak harus dirujuk ke rumah
sakit, sebab ada alat dan obat yang gtidak disediakan oleh puskesmas untuk
perawatan bapak. Dan Bapak harus di rawat di poli jantung yang tepat. Agar
sakitnya tidak semakin parah.” “Iya Dok.” Mendengar itu semua terpikir uang
baju lebaran milik Deno sudah kepakai seratus ribu rupiah. Meski semua biaya
perawatan sudah ditanggung BBJS tapi kendaraan dan bebera hal untuk kepentingan
menunggu ayahnya kemarin sudah aku gunakan. Dan beberapa dari selama menunggu
di puskesmas aku tidak bisa bekerja. Pikir ibu seorang diri.
“Deno ayah harus dirawat di rumah
sakit, bagaimana uangmu?” “Pakailah bu. Itu uang ibu juga. Sekarang tinggal
berapa? Tujuh ratus lima puluh dua nak.” Bawalah yang enam ratus untuk bekal menunggu
ayah selama rawat inap di rumah sakit. Biarlah yang seratus lima puluh ribu
untuk adik beli baju dan makan kami berdua selama ibu tidak ada di rumah.” “Kau
memang anak yang baik. Ibu terharu. Masih sekecil ini kau sudah mengerti
tentang hidup. Ibu berangkat ke rumah sakit ya nak. Titip adikmu di rumah.”
“Iya bu jangan khawatir, kami akan rukun. Silakan ibu tunggui ayah hingga
sembuh.”
Pagi yang cerah. Bulan puasa yang ke
enam tanpa ayah dan ibu di rumah. Mereka
kakak beradik. Deno dan Ratri. Ayok kita nanti beli baju.” “Kak deno juga?”
“Uangnya kak Deno biar dipakai untuk berobat ayah. Dan kak Deno masih punya
baju tahun lalu. Masih bagus. Yuk nanti kita beli baju untuk Ratri.” “Hem kalau
kakak punya celengan plastik, Ratri juga punya kak. Kalau kakak punya baju
tahun lalu Ratri juga punya. Jadi kali ini kita mending sama-sama gak beli baju
lebaran. Karena ada yang lebih penting yaitu kesehatan ayah. Heem lihat
celengan Ratri. Celengan Ratri dari tanah liat. Dibantingnya ke tanah. Banyak
sekali uang seribu rupiahan bahkan ada yang lima ratus rupiah. Karena uang aku
Ratri lebih sedikit dari aku. Alasannya dia masih SD kelas satu pulangnya agak
pagi dan lokasinya dekat. Tapi ternyata dia juga masih menyisihkan uangnya.
Kami menghitung berdua uang celengan Ratri. Ada tiga ratus ribu rupiah. Ini
untuk perawatan ayah juga ya kak. Biar ibu tidak pinkjam ke mana-mana. Ah saya
kira adikku masih kecil. Ternyata dia juga paham kondisi. Aku heran sekaligus
kagum. “Kata ustatku di Mushalla kalau lebaran itu yang penting puasanya.” “Oh
iya, apa lagi kalau uang itu untuk orang tua kita. Pasti hebat. Pasti kita
nanti disayang Tuhan. Kami pun tertawa dan berangkulan.
“Assalaamualaikum!” “waalaikum salam.”
“Eh bang Darjo. Masuk Bang.” “Ada apa, Bang?” “Aku tadi ke rumah sakit jenguk
ayahmu. Kulihat ibumu menangis di depan kamar jenazah.” “lalu bang?” “Katanya
ayahmu meninggal dunia. Dan aku kemari untuk membantu persiapan di rumah untuk
menyambut jenazah ayahmu nanti.” “Innalillahi wainna ilaihi roojiuun. Ratri.
Semoga kamu kuat nduk.” Ratri menagis sejadi-jadinya. Bahkan sampai bang Darjo
memberinya minuman dari tetangga. Katanya biar Ratri tenang. “Aku ingin ayah
sembuh. Kak. Aku tidak beli baju tidak apa-apa kak. Kenapa ayah meninggal kak.
Kenapa kaaaakkk!” Suara Ratri hampir seperti tercekik. “Ratri umur kita tidak
ikut memiliki. Tuhan sayang sama ayah kita. Karena itu dia memanggilnya.
Lihatlah Tuhan memanggil saat bulan puasa. Ini bulan penuh berkah. Penuh
ampunan. Ayah pasti sudah di sediakan tempat di surga. Dan dibebaskan dari rasa
sakitnya.” Deno menghibur Ratri. Meski sudah agak diam tapi masih terisak di
pangkuan Deno. Orang-orang semakin banyak yang berdatangan untuk takziah. Apa
lagi Ayahnya Deno aktif di kampung sebelum dia sakit.
Mobil ambulan datang. Suaranya meraung
memecah kesunyian. Berhenti tepat di depan rumah Deno. Jenazah diturunkan dari
ambulan. Tempat untuk memandikan sudah disiapkan. Tampak masih segar dan tampan
mayat ayahnya Deno. Deno juga ikut memandikan. Ratri kecil hanya melihat sambil
memegangi baju ibunya. Masih terisak dia. Dan sudah disiapkan di masjid dekat
rumahnya untuk menyolatinya. Didengarkan Sie kesra Desa memberikan sambutan.
“Assalaamualaikum Warohmatullohi wabarookaatuh. Yang terhormat bapak ibu yang
hadir dalam acara pemberangkatan pemakaman bapak Hainudin. Perlu kami sampaikan
secara pribadi bahwa selama hidup bapak Hainudin adalah orang yang baik dan
supel dalam bergaul buktinya ia selalu aktif kegiatan kampung. Apa menurut
bapak ibu juga begitu?” “Yaa baik.” Terdengar jawaban pelayat serentak. “Apakah
bapak Hainudin punya tanggungan?” “Tidak” Malah ada salah satu warga yang maju.
“Saya pengurus koperasi desa, Pak Hainudin masih punya tabungan sebesar
limaratus ribu rupiah. Biasanya diambil menjelang lebaran. Nanti pengurus akan
ke rumah duka sambil mengantar santunan. Terima kasih.” Akhirnya Jenazah
ayahnya Deno pun diberangkatkan ke makam umum Desanya. “Deno!” Ibunya merangkul
Deno. “Kita akan kehilangan Ayah untuk selamanya bu.”
0 komentar:
Posting Komentar