Blog kepenulisan

Jumat, 29 September 2017

Tebing dalam Napas Ayah



Pagi yang sejuk. Meski jalanan licin bekas hujan semalam tak menyurutkan semangat ayah untuk melewati hari-hari dalam mencukupi kebutuhanku. Hampir semua tebing di desa Keba sudah pernah dikelilingi ayah dengan jemari kakinya yang kekar. Ayah yang semangat. Ayah yang tangguh sesudah subuh selalu berangkat hanya berbekal air putih dan singkong rebus untuk mengambil jeruk di tengkulak lalu memikulnya keliling kampung. Ayah menjajakan jeruknya di kampung Keba, kadang desa tetangga untuk memperoleh uang agar uang saku anak anaknya selalu ada. Agar ketika waktu bayar sekolah tidak tertunda.

Begitu senja ayah pulang. Lalu dibukanya dompet lusuhnya untuk mengeluarkan beberapa lembar uang yang akan diberikan kepada anaknya dan juga ibuku. Tentu saja dengan tulus tanpa mengeluh. Kami anak anak kecil yang belum mengerti arti perjuangan senyum-senyum saja menerima uang dari tangan ayah yang kasar oleh pergulatan hidup yang keras. Ibu menerima dengan tulus dan ketika siang sudah menjadi hidangan di meja makan.

Ah ayah, aku selalu bilang, "Ayah aku ingin sekolah tinggi. Aku tidak ingin nanti bekerja seperti ayah."  Ayah selalu menjawab, "Sekolahlah nak ayah juga tidak ingin kamu sepertiku. Jalanan tebing dilereng gunung Usber ini amat licin. Kamu tapi perlu mencoba. Sesekali mengikuti ayah ketika libur sekolah. Agar kamu besuk menjadi orang yang kuat. Tidak mudah purus asa. Orang perlu berlatih sengsara agar tidak mudah mengeluh nantinya."

Maka jadilah setiap minggu aku mengikuti ayah menyusuri tebing-tebing di lereng gunung Usber. Dan ini menjadi catatanku betapa lelahnya mencari uang.

Ketika jeruk yang kubawa laku semua ayah selalu memberiku uang. Ayah bilang, "Ayo kita nabung nak agar kamu besuk bisa sekolah yang tinggi, bisa membangun tebing tebing di lereng gunung Usber ini menjadi tempat yang indah dan tempat wisata yang bagus. Dan kamulah semua yang menggambar dan mengerjakannya."

Semula setiap hari hanya kudengarkan saja kalimat ayah itu. Minggu ini ayah bersamaku berangkat berdua saja mengelilingi desa Keba. Kulihat peluh ayah bercucuran. Siang ini begitu terik.
Tiba-tiba kulihat napas ayah tersengal. Kuminta ayah berhenti kuberikan minuman bekal kami. Setelah minum ayah pingsan. Aku berteriak meminta tolong. Untung ada warga yang baik. Semua dagangan disimpankan di rumahnya. Dengan menggunakan sepeda saya dan ayah dibonceng menuju puskesmas di desa Keba.

Ayah langsung dirawat oleh dokter puskesmas. Tetapi nyawanya tak tertolong. Ia menghembuskan napas dalam sahidnya mencari sesuap nasi buat keluarga. Aku benar-benar terpukul. Tetapi pelajaran dari ayah tentang kuatnya hidup membuat aku tidak pantang menyerah.

Kali ini kuwujudkan cita-citaku dan juga cita-cita ayah. Setelah lulus insinyur aku akan mengabdi pada desa ini. Jalanan di lereng gunung Usber sudah tidak licin dan becek lagi seperti dulu. Semua lampu dan taman indah menghiasi desa. Tapi napasmu masih ada ditebing ini ayah. Napas yang memgantarku menjadi ahli disebuah proyek bangunan. Aku merasakan setiap langkahmu menjadi semangat setiap melewati tebing-tebing di sini di desa Keba. Semoga engkau tak tersengal lagi di surga.

*Ria*
Share:

Ajaran Religius Kasih Sayang kepada Ibu




Ajaran Religius Kasih Sayang kepada Ibu
dalam Kitab Semilir Nazam Tak Berdahak karya Jisa Afta
Masih Resensi dari isi oleh Riami
Bagaimana kata sujudku wahai ibu dalam puisi sang Ibu menunjukkan bahwa setelah Tuhan adalah seorang ibu yang harus diagungkan dalam setiap detak jantung manusia yang memiliki ibu. Dalam suka maupun duka ibu adalah segala yang mampu menghilangkan duka atau dahak. Digambarkan oleh Jisa Afta bahwa kehilangan ibu karena telah dipanggil malaikat atau telah kembali kepada Tuhan telah membuat hidup seseorang itu sepi meski siang hari. Kalau siangnya saja sepi bagaimana malamnya tentu itu bukti bahwa ibu merupakan wanita yang dinanti hadirnya oleh siapa saja yang mengharap hadirnya ibu.
Dan ketika ibu tidak ada maka biasanya seorang anak akan menyesal karena setelah tidak ada ibu hanya kepada dahan dia bisa melepaskan segala yang dirasa tanpa rahasia seperti pada ibunya.
Di sini juga ada pesan tersirat bahwa ibu dibuatkan catatan khusus dalam kitab semilir. Menurut pemahamanku sangat indah bahwa kelembutan ibu akan senantiasa dikenang oleh anak anaknya.
Maka ajaran untuk senantiasa hormat dan mengenang jasa baik ibu secara religius ada dan sangat kental.
Karena itu buku ini sangat cocok dibaca oleh anak anak remaja mulai smp sampai perguruan tinggi atau siapa saja yang ingin memepelajari bagaimana bersikap terhadap ibu lewat sastra. Tentu ini sebuah ajaran yang lembut juga karena tidak ada satu kata pun dalam puisi ini yang bernada menggurui atau memerintah. Selamat membaca dan menelusuri kitab semilir.

*Ria*
Share:

Advertisement

BTemplates.com

Elegant Themes

Advertisement

Popular Posts