#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-31
TAMAN
MISTERI
Karya: Riami
Malam
ini benar-benar menjadi hal yang luar biasa. Bagi gadis cantik yang berprofesi
sebagai detektif. Ah tidak mudah menjadi detektif. Apa lagi wanita. Selain
butuh nyali, butuh keahlian khusus, juga ahli bela diri. Paling sulit adalah
ahli mencium masalah. Atau hal-hal yang tidak wajar dalam sebuah kasus. Kali
ini Azeni Gangan mendapat tugas untuk
mengusut kematian wanita misterius. Sebab sudah tiga kasus serupa terjadi di
daerah ini. Di sebuah kota kecil bernama Stenlyst telah terjadi penculikan gadis dan belum
ditemukan. Ketiga gadis itu setelah ditelusuri pernah pergi kencan bersama
seorang laki-laki tampan. Tetapi setelah berkencan dinyatakan hilang.
Malam
ini tugas diterima. Meski untuk itu semua dia ditemani sepuluh detektif pria
dan dilengkapi dengan alat perekam yang canggih yang bisa langsung terhubung
dengan kantor kepolisian kota. “Azeni, kenapa kamu berani malam-malam masih
berada di Halte ini? Aku temani ya?”, tanya seorang lelaki tampan kekar dan
simpatis penampilannya. Seperti aroma anyir ditangannya. Azeni hanya
mengangguk. “Sedang tidak ada yang antar Bang, abang dari kerja.? Menurut
perkiraanku jam delapan masih ramai ternyata sudah sepi. Jadi kuputuskan untuk
telepon kakakku.” Jawabku mulai ingin berbincang dengan pemuda itu. “Kenalkan
namaku Xenko kamu siapa?” “Azeni Gangan.” “Nama yang bagus. Apa tidak ada yang
menjemput?” “Ada masih mau saya telepon,” jawabku. “Kuantar pulang mau ya Ning?” “Apa abang
tidak kejauhan nanti pulangnya?” “Tidak kebetulan abang pulangnya searah dengan
Ning Azeni.” “Tidak biasa diantar orang yang belum saya kenal. Besuk saja kalau
pulangnya agak siang ya. Ini aku sedang menunggu taxi.” “Baiklah. Boleh minta
nomor telepon?” “Boleh 085555978643,” Oke kucatat.
Malam
semakin pekat. Pukul sembilan. Azeni dijemput oleh teman seprofesinya. Di
perjalanan tidak banyak bicara. Karena begitulah sesama detektif tidak boleh
banyak bicara yang tidak penting di jalan. Sampai di rumah ia mandi air hangat,
ganti baju dan hendak tidur. Sudah hampir terpejam Hpnya berdering. “Hai, masih
ingat denganku?” “Masih Bang Xenko?” “Ada apa malam-malam telepon?” “Bisakah
kita mengenal lebih dekat?” “Maksudnya?” “Ya misalnya besuk kita siang bersama.
Atau kapan hari bisa refresing bersama.” “Dimana kalau refresing.” Di Vilaku
bagus pemandangannya.” “Oh iya, boleh mengajak teman Bang?” “Tidak boleh lah
jadi gak seru. Dan banyak teman bikin dompet abang kehilangan banyak isi ATM.”
“Ah Abang pelit ah.” “Ya udah boleh.” Siang itu aku dan temanku mengahadiri
undangan Xenko ke Vilanya. Berada di puncak sebuah bukit Vila ini sangat keren.
Sungguh menakjubkan.
“Sebenarnya
kamu kerja di mana? Vilamu keren banget?” “Kerja di perusahaan ayahku. Sebuah
perusahaan tekstil.” “Ow berapa hari sekali kamu kemari?” “Dulu setiap minggu.
Tapi setelah putus dengan pacar saya jadi malas. Baru kali ini saya kemari
lagi.” “Yang merawat taman itu siapa bunganya indah sekali.” “Ada Juru taman
setiap hari datang, kecuali hari Minggu dan tanggal merah.”
Setelah
perkenalan dan tiga kali bersama temanku aku mulai beraksi ke sini sendiri
hanya bersama Xenco. Hari sudah hampir magrib sampai di Vila. Aku solat dulu.
Ketika aku ambil air wudhu di kamar mandi belakang seperti kudengar suara
rintihan. Ah, apakah hanya perasaanku saja? Aku tidak mengerti. Lalu aku sholat
di sebuah kamar kosong. Di sini di sebuah Vila yang besar milik Xenco tidak ada
tempat untuk sholat. Karena itu aku memilih ruang kosong dekat gudang.
Lagi-lagi suara rintihan menggoda sholatku. Seperti suara wanita. Kukirim pesan
pada temanku. Suara mencurigakan dengan bahasa sandi. Selesai sholat aku
melihat-lihat. Ada taman di dekat kamar kosong. Banyak tulisan relief tentang
cinta. Gambar-gambar wanita cantik. Seperti ada nyawanya. Tiba-tiba sekelebat
bayangan telah menarikku ke dalam gudang kosong. Tapi sangat menyeramkan. “Kamu
jangan ke taman itu. Sungguh aku di sini dalam bahaya. Sudah tiga orang yang
dibunuh oleh pemuda itu. Aku tak tahu alasannya. Tapi dia mengajak berdansa di
taman itu lalu membunuhnya.” “Ow.” Aku pura-pura takut. Atau agak takut ya.
“Lalu
kamu kenapa di sini?” “Saya juga baru kemarin diajak ke sini. Lalu aku di sekap
di gudang ini. Tadi ketika juru taman
membuka gudang aku keluar. Dan malam kemarin aku melihat sendiri di
bawah sorot lampu taman seorang gadis di tusuk dengan pisau. Setelah itu
dikubur di taman itu. Lalu di tutup dengan rumput taman dan bunga-bunga dalam
pot. Salah kita terlalu mudah terjebak pemuda tampan. Bagaimana ini.” “Tenang!
Jangan berinsik!” “Tenang bagaimana!” Seru gadis itu hampir tak terdengar. “Kau
bisa bela diri. Bisa sedikit. Dulu aku pernah belajar silat tapi tidak sampai
selesai.” “Baik itu cukup menjadi bekal kita untuk lari.”
***
*** ***
Hari
mulai gelap. Kami berdua berencana ingin keluar dari Vila itu. Tapi sampai di
depan taman yang penuh relif itu tiba-tiba Xenco menyapaku. Hee mau kemana kau
cantik. Kita belum berdansa. “Jangan ikut berdansa kata gadis itu. Nanti kau
pingsan.” Aku segera sadar. Segera kupakai alat penutup wajah dan hidung agar
tak bisa menghirup udara yang berbahaya. Alat yang kupakai sayangnya hanya
membawa satu. Dengan alat ini semua zat bisa tambar. Kasihan gadis ini pasti
nanti pingsan.
Betul
malam ini kusaksikan Xenco mengajak gadis itu berdansa dan sepertinya kulihat
dia tak sadarkan diri. Tiba-tiba kulihat sebilah belati di keluarkan dari
pinggangnya. “Plak!” kusepak tangannya dan jatuhlah belati itu. Dengan
tendangan itu Xenco tidak sadar bahwa telah memancing seluruh temanku untuk
hadir di lokasi kejadian yang sedang ku alami.
Tetapi
kelompok detektifku belum masuk dalam ruang taman rahasia penuh misteri itu.
Aku terlibat perkelaian yang sangat seru. Kami berlarian sepanjang lorong di
dalam Villa itu. Ternyata ada jalan menuju semak belukar yang berada di
belakang Vila itu. Vila ini tampak sendiri. Tidak ada tetangga. Sehingga
menjerit seberapa pun kamu tak akan ada yang mengerti. Setelah itu kami duel.
Dan prak tendanganku tepat mengenai rahangnya. Dia terjatuh. “Aku mulai sadar.
Kau bukan gadis seperti biasa. Pasti kau sedang membuntutiku untuk mau
membawaku ke penjara. Aku tidak mau. Aku akan membunuhmu!” “Jangan lebih baik
kamu menyerah daripada kutembak. Lalu pemuda itu pun mengeluarkan sebuah
pistol. Benar-benar orang kaya. Sebab hanya orang kaya dan mendapat izin yang
diberi hak untuk memiliki senjata. Baku tembak pun terjadi. Ow serasa puluru
ada di pelipisku. Hampir saja. Kubiarkan dia menembak duluan dengan pistolnya
yang berbunyi itu. Duz ... terpaksa kulumpuhkan dengan senjata rahasiaku.
Kutembak satu kakinya. Kulihat dia masih menembak tapi pelurunya sudah habis.
Seperti hendak mengambil peluru lagi. Duz... kutembak lagi dibagian tangannya.
Door! Aku masih mendengar suara itu dan kulihat lenganku berdarah.
Wah
kenapa temanku belum juga datang. Aku berlari. Bersembunyi di balik patung
dalam dalam taman itu. Aw tiba-tiba kakiku terperosok. Ternyata ada jalan lagi
menuju seperti rumah kecil di pinggir danau. Kami pun tetap melanjutkan
pergulatan. Di sini kulihat dia menangis. “Kamu tahu? Kenapa aku menangis. Di
sinilah ayah dan ibuku dibunuh. Oleh seorang wanita. Karena itu aku selalu
mengajak wanita-wanita itu kemari untuk kutunjukkan pada ayah ibuku. Bahwa aku
telah berhasil menemukan pembunuhnya. Dan aku sendiri yang akan menghabisinya.”
Kulihat dia membuka pintu rumah kecil itu. Meski agak takut kuikuti dia. Ada
dua tengkorak dalam rumah kosong itu. “Inilah ayah ibuku yang dibunuh itu.
Apakah itu temanmu?” Dia bertanya padaku. “Bukan aku tidak memiliki teman seorang
pembunuh. Lalu itu tengkorak siapa?” Tengkorak ini adalah ayah dan ibuku.” “Ya
kau mengambilnya di mana. Di ruang gudang sebelah. Berikan padaku untuk
diteliti.” “Tidak aku tak kan memberikan padamu. Dan pada detik berikutnya
tiba-tiba sebuah belati kecil menancap di kakiku. Dia lihai sekali meski
kelihatan lemah. Dan aku tak berdaya. Setelah itu aku tidak tahu apa-apa. Yang
kutahu aku sudah dibawa temanku detetif lainnya ke rumah sakit. “Kau sudah
aman. Kau benar-benar detektif wanita yang tangguh.” “Tapi aku belum bisa
meringkus penjahatnya. Penjahatnya sudah kami ringkus tinggal menunggu proses
pengadilan. Ow Terasa bisa bernafas.
0 komentar:
Posting Komentar