#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-21
KUKU PANJANGKU
Sore hari. Senja keemasan diujung
barat menerpa jendela rumah kami. Sorot keemasannya menerpa pipi mungil Radiva
adikku yang paling kecil. Ganteng lebih putih dari aku. Hidungnya sama mancung
tapi orang-orang yang bertemu kami berdua selalu bilang Radiva lebih ganteng.
Ah tak apa untung ibuku tak pernah membedakan kami. Hanya kadang ibu selalu
menyuruh saya mengalah ketika kami berebut benda mainan atau apa saja. Sepele sich
sebenarnya barangnya tapi aku gak suka selalu disuruh mengalah. Kali ini dia
diam sekali, kelihatan serius. Selesai mengerjakan tugas seni budaya aku
mengerjakan matematika. Tenang, kulihat dia tidak reseh seperti biasanya,
selalu minta penghapusku, pensilku, ini kek, itu kek padahal dia sudah punya ah
BT banget.
Aku serius mengerjakan soal matematika
tinggal tiga nomor lagi. Kusapa dia. “Radiv, sedang apa kau.” “Lihat lihat
lukisan kakak,” jawabnya. “Jangan itu tugas sekolah nanti kotor!” “Aku ingin
lihat saja.” Dia memegang erat lukisan kertasku. “Ayo berikan kakak!” Ia tidak
mau memberikan malah ditekuknya lukisanku. Ah mulai timbul jengkelku. Kubentak
dia. “Kembalikan itu tugas kakak! Besuk kamu kubuatkan sendiri.” “Tidak kakak
kemarin katanya mau buatkan ternyata tidak dibuatkan, jadi ini saja untuk saya.
“Tidak!” jawabku tegas. Ah di luar dugaanku. Dia malah menyobek lukisanku. Geram
sekali. Kucubit tangannya. Dia buang lukisanku. Lalu menangis sejadi jadinya.
Ibu terkejut waktu itu ibu solat isyak. Kulihat tangannya berdarah. Aku panik. Tapi
dia tidak mau kutolong.
Adik menangis di mushola rumah tempat
ibu sholat. Darah ditangannya bekas kucubit mengenai mukena ibuku. Selesai
salam ibu melihat adik. “Astaqfirulloh hal adhim, kenapa ini dik?” “Dicubit
kakak.” “Masyaalloh kenapa sampai begini?” “Dia merobek tugas senibudayaku yang
sudah kubuat dengan susah payah bu.?” Ibu tidak berkata apa-apa padaku.
Tatapannya saja membuat aku merasa sangat bersalah. Kulihat ada tetes bening
menetes di pipinya. Tanpa kuduga. Ibu memarahi adik. Ibu mengatakan pada adik. “Adik
dengarkan ya, jangan pernah ganggu milik siapapun, ini masih milik kakak jadi
kakak hanya mencubit. Tapi kalau milik orang lain adik bisa dipatahkan
tangannya. Paham adik. Ketika milik orang lain itu terganggu, maka kadang orang
tidak memikirkan bahwa saudara, atau sahabat lebih berharga dari benda milik
kita. Jadi adik harus hati-hati ya.” Kalimat ibu sangat menohokku.
Setelah itu ibu menggendong adik ke
kamar. Membuka kotak P3K. Tangan Radiva diobati. Dibersihkan dengan betadin. Aku
lihat dari balik jendela kamar ibu lukanya membekas kuku panjangku. Serasa tanganku
ikut sakit. Kucoba kucubit sendiri tanganku hingga berdarah seperti adik. Ternyata
sangat sakit. Kudengar tangisannya sudah mulai agak reda. Ibu membuatkan jus
tomat kesukaannya. Adik tidak suka jus pakai mesin. Sukanya tomatnya diparut,
lalu disaring. Memang rasanya beda. Lebih enak yang diparut, terasa alami. Tapi
ibu selalu telaten membuatkan makanan kesukaannya ana-anaknya ketika masih
kecil agar tidak sampai kurang gizi. Masih ingat ketika masa kecilku aku tidak
suka sayur ibu selalu membuatkan dadar telur warna warni semua karena dicarpur
sayur bayam yang dihaluskan juga wortel. Ibu maafkan aku kali ini aku membuat
hati ibu sedih karena bertengkar dengan adikku yang masih TK. Sedangkan aku
sudah kelas sembilan SMP.
Setelah minum jus adik rupanya tidur. Dalam
pulasnya masih ada sisa sengguk tangisnya kudengar. Aku mendekati ibu. “Bu aku
minta maaf.” Dirangkulnya aku. Kami berdua menangis. “Diva pernah suatu hari
ketika kamu masih kecil, menarik laptop yang ibu letakkan di atas meja. Lalu laptopnya
jatuh pecah layarnya. Ibu tidak bisa mengetik di laptop sampai ibu bisa menyerfiskan.
Ibu marah. Ibu jengkel. Tapi ibu tidak bisa memukulmu. Kau tahu kenapa? Karena menurut
ibu laptop ada tokonya kau masih kecil terlalu kasihan untuk dipukul. Biasakan berfikir
bahwa saudara di atas segalanya Diva. Apalagi kalau lukisan kau sudah pandai
melukis kau bisa menyelesaikan model seperti itu dalam waktu satu jam. Kenapa kau
harus menyakiti adikmu yang belum mengerti yang lukanya itu belum tentu sembuh
dalam dua hari?” “Maafkan aku ibu, Diva kilaf, Diva rela ibu cubit sepeti ini.”
Sambil kutunjukkan luka tanganku bekas kucubit sendiri.
Ibu
malah marah. “Itu tidak perlu kau lakukan juga tindakan menyakiti diri sendiri
itu dhalim. Kau tahu kenapa aku tidak memarahimu di depan adikmu, karena biar
dia tidak kurang ajar terhadap kakaknya. Meski begitu kau tetap salah selaku
saudara tua kau harus menyayanginya. Perhatikan beberapa hari ini kulihat kamu
kurang disiplin meletakkan barang-barangmu. Yang penting letakkan di almarimu
kan sudah punya almari lalu dikunci. Ibu juga minta maaf karena ibu waktu itu
sholat tidak pamit adik tidak kuajak sehingga mengganggumu belajar. Kami pun
saling memaafkan.
Pagi
hari adik kusapa seperti biasa. Dia memandangku takut dan masih agak marah. Kulihat
di wajahnya masih ada jengkel terhadapku. Aku berjanji lukisan yang kubuat lagi
setelah kunilaikan akan kuberikan adik. Jam sudah menunjukkan pukul enan aku
harus berangkat sekolah. Seperti biasa aku salim pada ibu. Karena kami bertiga
saja di rumah. Ayah seorang pelayaran jadi pulangnya lama paling cepat enam
bulan sekali.
Pukul
tujuh bel sekolah berbunyi. Saat masuk kelas. Jam pertama waktunya seni budaya.
Saat menyerahkan lukisan masih terbayang tangan adik yang di tutup dengan
perban tipis oleh ibu dan diberi betadin. Ada rasa pilu disudut hatiku. Harusnya
aku jadi pelindungnya yang mungil tangannya. Tetapi mengapa aku melukainya. Ah terasa
tidak konsentrasi aku belajar.
Saat
istirahat kuambil potongan kuku di tas yang sengaja kubawa dari rumah. Untuk memotong
kuku panjangku yang melukai adikku. Teman-teman pada heran. “Kenapa kukumu yang
kau gunakan main gitar kau potong?” tanya Rizal. “Kukuku telah melukai tangan
mungil adikku jadi kupotong saja. Biarlah main gitar bisa dengan alat. Saat istirahat
selesai memotong kuku aku tidak makan aku melukis lagi, ya melukiskan untuk
adik. Kugambar seorang kakak yang sedang sakit. Lalu diinfus. Trus adiknya
menunggui disebelahnya. Lalu kulukis foto adikku juga. Dapat dua lukisan saat
istirahat. Teman-temanku heran. “Kenapa kau melukis saja tidak makan di kantin?”
“Ah aku mau menebus kesalahanku.” “Salah apa? Pada siapa?” Tanya Widi. “Pada
adikku kemarin aku mencubit adikku karena minta lukisanku.” “O kenapa begitu? Aku
selalu buatkan adik dulu sebelum aku melukis untuk diriku.” “Iya aku bersalah.”
Bel
pulang pun tiba. Saat pulang sekolah seperti mendung. Maka lukisan adikku
kubungkus dengan plastik. Kutaruh di tas. Sepanjang perjalanan hujan deras. Tak
sengaja ada lubang yang tak terlihat karena tergenang air. Gubrak aku jatuh
dari sepeda di deras hujan. Kakiku terbentur aspal jalanan. Terasa hangat darah
mengalir. Setelah itu aku tak terasa apa-apa. Yang kutahu aku ada di puskesmas
setelah siuman. Sudah kulihat ada ibu, adik, teman-temanku dan guruku. “Mana lukisanku?”
“Di tas Diva,” jawab Bu Indra guruku. Waktu itu beliau bersepeda motor saat melintas di jalan
tempat aku jatuh dan beliau yang membawaku ke puskesmas.
“Mana-mana
tasku.” Fendy temanku memberikan tasku. Kulihat di tas. Alhamdulillah masih
utuh. Lalu kuambil. “Radiva! Lihatlah apa yang kakak punya?” Aku merasa lega
Radiva sudah tersenyum padaku sambil menjawab, “Itu lukisan kakak untuk
dikumpulkan pada bu guru kan?” “Bukan ini lukisan untukmu.” “Untukku? Terima kasih
kak dia menghambur padaku sambil memelukku. “Aduh-aduh! Kakiku sakit
pelan-pelan.” Radiva tersenyum sambil
nyengir. Teman-teman kompak berkata, “Satu-satu niye. Tidak patah kan tapi?” Ah
tapi nyeri tahu. “Maafkan kakak ya dik.” Radiva tersenyum padaku. “Ya Kak”
0 komentar:
Posting Komentar