#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-20
SUARA DI PUNCAK
KUBAH
Suasana begitu terik. Sepada motorku
tiba-tiba rasanya bergelombang kalau dinaiki. Kulihat ban belakang ternyata
sepertinya kempis. “Ah, mungkin bocor,” pikirku. Aku berjalan sambil menuntun
sepeda kurang lebih setengah kilo. Belum menemukan tempat tambal ban juga.
“Hemm capek juga,” gumamku dalam hati. Ketika mau menyeberang aku dibantu oleh
seseorang yang berpakaian santri. Sarung kotak-kotak menghiasi badannya, juga
baju takwa putih.
“Mau menambal ban pak?” tanyanya. “Ya
dimana ya pak?” jawabku. “Kalau bapak sabar silakan masuk di Gang sebelah
masjid ini pak, insyaalloh tidak hilang setelah solat jumat nanti saya tambal.
Bapak bisa duduk di bangku depan rumah sebelah masjid itu. Atau solat jumat di sini.”
“Tempat lain ada tidak pak?” tanyaku. “Ada lima ratus meter lagi pak.” “Hadech,
kalau menuntun sepeda ini limaratus meter lagi lebih baik aku tunggu di sini
saja.” Sepeda kumasukan di gang masjid seperti petunjuk orang itu tadi.
Sebenarnya aku mau duduk di depan rumah sebelah masjid itu. Tetapi seorang pria
paruh baya menayakan padaku, “Mau solat jumat pak? Di situ tempat wudhunya,”
Sambil menunjukkan tangan ke arah sebelah kanan belakang masjid tempat aku
meletakkan sepeda. “Ya,” aku jawab sekenanya.
Semula saya hanya ingin membersihkan
muka, karena begitu penatnya perjalan sambil menuntun sepeda. “Allohhuakbar...............Allloh-huakbar”
Suara itu mengingatkanku saat di pondok pesantren. Waktu itu aku belum seperti
ini. Setiap waktu aku selalu sholat. Tetapi setelah aku keluar dari pondok
pesantren dan bekerja kebiasaan itu hilang. Aku selalu merasa dikejar
kebutuhan. Sehingga lambat laun waktu sholatku hilang. Lebih tepatnya aku
menghilangkan sendiri kesempatan itu. “Hayyaalassalaaah” Suara itu begitu keras
dan terasa memilukan jiwaku. Tiba-tiba tanganku membasuhkan air ke mukaku.
Terasa segar menusuk sukma. Bayangan di pondok pesantren itu terulang.
“Hayyaalalfalaaah” panggilan ini membuat aku menitikkan air mata.
Selesai wudhu aku memasuki masjid.
Masih mendapat tempat agak tengah. “Maasiral muslimiin wazumrotal mukminina
rahima-kumullah.” Suara bilal menyentakkan pikiranku. Sudah terlalu lama
rasanya aku tidak mendengar ini. Kudengar khatib mulai berkhutbah. “Saudara
kaum muslimin yang berbahagia. Shalat bukan hanya merupakan semata-mata
kewajiban. Marilah kita renungkan. Betapa suntuknya kita bekerja. Membanting
tulang seakan kita tak pernah memperhatikan badan kita sendiri, bahkan nyawa.
Ketahuilah ketika kita berwudhu sebenarnya Tuhan tidak hanya menghapus dosa,
tetapi Tuhan telah membersihkan debu-debu berkuman dalam wajah dan
tangan-tangan kita selama kita berkomunikasi dengan alam. Betapa lengkap sudah
peraturan dan nikmat yang diberikan Tuhan ketika kita bisa melakukannya. Saat
sholat seperti ini kita juga diberi waktu istirahat dan waktu untuk
mencurhatkan segala peluh yang kita rasakan dalam kehidupan kepada pemilik
segala keindahan dan solusi dari segala masalah dunia yang digengganya. Kenapa
kita selama ini menyiya-nyiyakan waktu yang telah disedikan Tuhan untuk kita.
Kita anggap kita mampu segalanya. Padahal terkena masalah sedikit saja hati
kita sudah gundah apalagi yang kita inginkan? Semua milik Allah SWT. Azzawajalla.
Tiba-tiba pikiranku seperti teriris.
Selama ini aku menganggap semuanya kulakukan sendiri. Dan setelah lima anakku
lahir dari kandungan istriku. Semua beban hidupku terasa berat. Apalagi istriku
tidak bekerja. Ini semua permintaanku. Karena kami tidak menemukan pengasuh
bayi di sini sebab aku dan istriku berumah jauh dari saudara. Terasa waktu
kuhabiskan hanya untuk bekerja dan bekerja.
Kudengar lagi suara di puncak kubah
menggema. “Istri dan anak-anak adalah harta paling berharga yang dititipkan
Tuhan pada kita. Kita adalah seorang pemimpin. Kita harus mampu membawanya ke
surga Tuhan dengan penuh kasih sayang. Alloh berfirman Arrijalu kowwamuuna
alannisa’. Laki-laki itu pemimpin wanita. Artinya bukan harus berlaku dhalim
untuk senantiasa memerintah layaknya budak. Melainkan kita harus memberi contoh
dalam segala hal. Memberi contoh berkata baik dan lembut. Memberi contoh
bekerja keras dan tidak mengeluh. Memberi contoh ibadah yang baik. Sebagai
realisasi peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT. Lalu apakah kita sudah
benar-benar menjadi pemimpin bagi keluarga. Ataukah sebaliknya kita hanyalah
seorang lelaki yang hanya mau menangnya sendiri ketika berada di rumah terutama
kepada istri. Dengan dalil itu kita bisa memerintah ini dan itu kepada istri
tanpa memperhatikan apakah dia capek atau tidak. Kita sudah merasa bekerja.
Kita anggap istri di rumah tidak bekerja. Padahal betapa banyak pekerjaan yang
harus dia lakukan bahkan kadang istri sudah bangun suami masih bisa melanjutkan
mimpi.”
Ah khutbah ini benar-baenar serasa
menyerang perasaanku. Tadi pagi aku memarahi istriku dengan kata yang tidak
patut. Kukatakan dia bodohlah, lemotlah karena masak belum selesi ketika aku
mau berangkat kerja. Aku tidak pernah memikirkan bagaimana capeknya mengurus
lima anak-anakku. Tiba-tiba bulir hangat keluar dari sudut mataku. Belum pernah
kurasakan seperti ini. Biasanya aku selalu ingin menang sendiri. Kuanggap
seorang istri harus menurut apa saja padaku melayani aku semua kepentinganku.
“Maafkan aku ya Alloh. Selama ini aku menyia-nyiakannya.”
Sholat sudah selesai akupun keluar
dari masjid. Sepeda motor kubawa kerumah sebelah masjid seperti arahan santri
tadi. Kulihat orang tadi yang mengarahkan sepedaku parkir sudah berganti
kostum. Sekarang berganti pakaian ala tukang tambal ban. Dikeluarkan seluruh
alat-alat nya untuk menambal sepedaku. Tiba-tiba teleponku berdering. Kulihat
anakku yang paling besar memanggilku. “Ayah ibu sakit, ibu pinsan.” “Baik kakak
ada di rumah?” “ada.” “Suruh bawa ibu ke
puskesmas nanti bapak menyusul.”. Sepeda motorku selesai di tambal. Ah tidak
mau kubayar. Ya sudah aku langsung meluncur menuju puskesmas dekat rumah.
Rumahku hanya seratus meter dari puskesmas. Kuucapkan terima kasih kepada mas
Adi Jaya dan istrinya yang mengantarkan istriku ke puskesmas. Mereka berdua
seperti saudara sendiri. Dia bekerja di rumah berdua. Istrinya menjahit dan
suaminya memiliki usaha fotokopi dan jual buku dan alat tulis grosir.
Kulihat wajah istriku kuyu dengan
infus ditangan. Kupegang jemarinya. Kurasakan denyutnya sangat lemah. “Maafkan
aku selama ini kurang memperhatikanmu. Selalu kasar kata-kataku.” “Tidak apa
mas, aku mengerti mas sudah bekerja keras.” “Tumben mas lembut sekali. Biasanya
biacaranya meledak.” Ya aku akan berusaha sabar sekarang suara dipuncak kubah
itu telah menyadarkanku bahwa kau adalah titipan Tuhan yang sangat berharga
untukku. Kukecup jemarinya yang senantiasa beraroma sunlich itu. Aku bahagia
istriku tidak sakit parah. Tetapi kecapekan sehingga darahnya drop. Sejak itu
aku bantu pekerjaan rumahnya sebelum aku berangkat kerja.
0 komentar:
Posting Komentar