#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-17
Perahu
Kertas
Bulan
pada siapa aku harus berbicara bahwa catatan kertas ini untukku tapi cintanya
untuknya. Namun untuk menjaga perasaan anak-anak aku harus menyembunyikan ini
semua. Pada garis lengkung yang memanjang sepanjang hatiku dan hatimu terasa
banyak duri. “Tesa apa lagi yang kau cari dari suami yang telah mengkianatimu?”
Tanya Glandi padaku. “Seka-rang aku sudah tidak peduli dengan perasaanku
sendiri Glandi. Bagiku sekarang yang ada dalam hatiku adalah tiga permata yang
dititipkan Tuhan padaku.” “Itu namanya kamu menyiksa diri. Memperhatikan orang
lain bukan berarti melupakan perasaan sendiri.”
Kuminum
pesanan jeruk hangat di kafe tempat pertemuan kerja kami. Tapi tak sedetikpun
aku ingin membagi rasaku dalam selembar kertas dengan orang lain. Bukan aku
tidak memikirkan perasaanku Glandi. Kau tidak tahu bahwa hati setiap anak tetap
memikirkan ayahnya kandungnya sendiri meski ayahnya telah menyakiti ibunya.
“Heem minum jangan banyak melamun nanti kamu sakit.” “Siapa melamun. Jangankan sekarang
anakku telah tiga. Tak sempatlah untuk melamun. Memimirkan mereka bertiga
rasanya tidak ada henti. Wajah-wajahnya memang sangat menghibur rasaku. Jika
menuruti cemburu aku memang sakit Glandi.” “Jangan sampai kau sakit Tesa. Dunia
ini tak selebar daun kelor. Aku tahu kamu sudah bercerai. Suamimu itu kalau ke
rumah hanya untuk menengok anaknya itu pun kalau dia sempat. Heem apa kau igin
kembali dengannya dan menjadi istri kedua.” Rasanya kalimat Glandi yang ini
begitu menyakit-kan. Aku tahu Glandi simpati padaku. Ia memang hidup sebatang
kara setelah anak dan istrinya meninggal dalam kecelakaan itu. Ia juga sering
traktir aku.
Entahlah
pernyataannya barusan membuat aku ingin pergi dari meja makan kantin. Aku
berlari menuju mobil. Masuk kustater mobil dan kutinggalkan dia di kantin tanpa
pamit. “Tesa! Tesa! Tesa-Tesa sebentar suaranya agak parau tak kuhiraukan. Tahu
tahu dia sudah di depan mobilku. “Gilaaa! Spontan kakiku menginjak rem tapi
tetap saja spion kananku menabarak dahinya. Darah mengucur. Aku panik. Kusuruh
masuk dia dalam mobilku. Kami tanpa bicara mobil aku gas menuju rumah sakit.
Sebuah
luka didahi telah diperban. Wajahnya tersenyum padaku. “Apa kau mau membawaku
ke polisi Karena telah mena-brakmu?” “Hemm lain kali kau tidak boleh begitu.
Kau itu jangan emosional. Meski kau tak mau menerima cintaku kau tak harus
begitu ngebut dalam perjalanan itu berbahaya buatmu. Aku tetap menunggumu.
Andai kau tidak menikah denganku aku pun akan menunggumu sebagai sahabatku. Aku
sudah tidak punya siapa-siapa di dunia ini. Anak dan istriku sudah tiada.
Makanya aku kembali hijrah ke sini. Darimana aku tahu kamu bercerai itu dari
kakakmu Darmaji. Meski kita tidak berjodoh kuharap kau tidak membenciku.”
“Bukankah
kau orang pertama yang meninggalkanku. Kau tahu hatiku sangat sakit saat kau
memilih menikah dengan pilihan ibumu. Tapi aku tahu laki-laki harus berbakti
pada orang tuanya. Dan aku pun tetap mendoakan kebaikan untukmu. Aku tidak
pernah berharap kau kembali padaku. Makanya sebenarnya sejak setahun sepeninggal
istrimu suamiku sudah mulai selingkuh dengan teman sekerjanya itu. Tapi aku tak
ingin bercerita padamu. Semua semua demi kebaikanmu supaya kamu ketemu orang
yang tepat bukan wanita yang sudah banyak memiliki anak.”
“Heem
kenapa kau punya pemikiran begitu. Aku mencintaimu apa adanya. Bagiku anakmu
juga anakku. Berbagilah denganku. Jangan siksa batinmu dengan memendam
kepedihanmu seorang diri. Ayolah Tesa. Menikahlah denganku. Aku akan mengganti
perahu kertas ini menjadi kapal selam untuk kau aku dan anak-anakmu”
“Beri aku wakyu Glandi, rasanya dalam pikirku
semua lelaki sama. Tak ada lagi cinta di sini, dulu ketika kau menikah dengan
pilihan ibumu hatiku begitu sakit. Untung aku punya sahabat yang sering
mengajakku pengajian. Lambat laun aku bisa memahami bahwa kau ditentukan tidak
lagi menjadi jodohku. Sampai suatu hari ada orang yang memperhatikanku, tapi
ternyata cintanya hanya di atas kertas. Perahuku perahu kertas, mudah robek dan
tenggelam. Untung aku masih diberi kekuatan oleh Tuhan.” Tiba-tiba tak terasa
buliran deras mengalir di pipi keruhku. Ah mengapa aku cengeg begini. Saputangan
pink terulur dari jafri kekar di depanku. “Maaf kalau aku menyakitimu,
bersabarlah, aku akan tetap menjadi sahabatmu sampai kau menemukan orang yang
sangat menyayangimu. Berhentilah menguras air mata, sudah saatnya kamu bahagia.”
Meski begitu kalimat terakhirnya tak membuat aku jatuh cinta sebab jatuh dari
perahu kertas telah membuatku trauma.
0 komentar:
Posting Komentar