Blog kepenulisan

Jumat, 20 April 2018

CERPEN "BONPRING"



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-19


BONPRING

Perjalanan penjelajahan sudah hampir magrib reguku tiba di pos terakhir. Sampai di hutan bambu terasa begitu mencekam. Suara ringkik kuda kudengar menakutkan. Aku bersama Tea, Jamil, Rita, laily, Iyis, Rika, Monik, bertujuh menyelusuri hutan bambu yang kian pekat. Jalanan yang kian gelap membuat kami harus menggunakan senter. “Suara kuda tadi di mana ya?” Tiba-tiba Tea menanyakan padaku. “Ah jangan pikirkan itu, yang terpenting bagaimana kita bisa terbebas dari hutan bambu yang menakutkan ini. Kenapa tadi kita bisa kesasar ya? Apakah ada yang jail mengganti petunjuk arah?” tanyaku tak ada yang menjawab.

Regu 20, ketuanya Laily. Ah tak perlu takut sebenarnya sebab dia menguasai bela diri. Kami bertujuh ada tiga yang menguasai beladiri Taekwondo. Yaitu ketua regu, Tea dan Monik. Rita, rika dan aku menguasai sandi-sandi. Iyis pandai sekali menari dan menyanyi. Ah tapi kami bertujuh orang bilang pasukan tahan banting. Meski mendaki bukit-bukit. Tiba-tiba di tengah hutan kira kira pukul 20.00 WIB, ada segerombol orang berpakaian serba hitam menghadang perjalanan kami. “Berhenti! Siapa kalian. Malam-malam masih di hutan bambu ini.” “Kami regu pramuka yang sedang melaksanakan jelajah alam.” “Oh jelajah alam. Kenapa sampai selarut ini.” “Ya kami tersesat. Tolong kami pak.” “Ha haha kami akan menolongmu. Ikutilah kami.”

Kami pun sepakat untuk mengikuti kelompok berseragam hitam-hitam itu. Namun terasa perjalanan kami semakin jauh dari bumi perkemahan. “Kenapa terasa semakin jauh dari bumi perkemahan?”, tanya Tea. “Ah menurutmu lewat mana yang lebih dekat. Apa kamu tahu jalannya?” “Tidak hanya perasaanku saja,” jawab Tea. “Ya terasa semakin bukan jalan menuju kampung kemah,” Timpalku. “Ya betul,” kata Jamil. “Aku takut,” seru Rita. “Kenapa kita tidak kembali saja ke jalan tadi, kita bisa terlambat api unggun kalau begini?” kata Iyis  “Ah jangan pikir api unggun dulu yang penting bisa keluar dari kampung mengerikan ini!” bentak Rika. “Berhenti grak!” Kudengar aba-aba dari laily ketua regu kami. “Kita putuskan berhenti di sini!” siapa yang hpnya masih hidup. Punyaku mati kata Laily.” Hpku jawabku. “Tolong hubungi Pos komando. Kita tersesat.” Baik. Hp kukeluarkan dari tas. Memang aku sengaja untuk membiarkan hpku mati dulu biar gantian saat hendak menghidupkan hp, tiba-tiba tangan kekar menarikku. Bug! Tendangan dari Laily membuat lelaki itu roboh. Hp yang tadi diambil dari tanganku terpental dan Tea segera mengambilnya.

Aku benar-benar ketakutan. Iyis menangis. Rita mengeluarkan Hp juga. Rupanya ia berhasil menguhungi pos penjagaan panitia. Tapi  gerombolan penjahat itu marah. Mereka mengeluarkan senjata. “Ah jangan teriakku ketakutan. Tea, Laily dan Monik siap siaga dengan tongkat di tangan mengambil kuda-kuda. Tidak ada senjata yang kami bawa. Kami hanya regu pramuka. Hanya pisau kecil terselip di pinggang. Itu pun bukan untuk berkelai. Saat semakin genting. Iyis yang tadinya menangis kulihat mulai diam ketakutan. Aku sendiri berjaga jaga saja. Aku sebenarnya takut juga. Karena aku tidak bisa bela diri.

Prak tongkat Laily patah terkena serangan pedang. Monik memukul tengkuk penjahat yang satunya hingga pingsan. Tapi masih ada empat penjahat. Tea segera melempar pisau tepat mengenai kaki salah satu penjahat. Dia jatuh. Ah masih ada tiaga penjahat lagi. Yang satu mendekatiku. Tiba-tiba plak serangan monik mengenai rahangnya.

Teman penjahat itu tidak terima yang dua meneyekapku di bawah pohon. Mereka mengikat dengan tali pramuka. Kalau temannku tidak mau menyerah akan membunuhku. Pedang diayunkan oleh penjahat itu. “Aaaaah aku berteriak ketakutan. Entahlah apa yang kupikirkan aku tidak tahu. Yang kutahu semua teman membangunkanku. Ternyata aku pingsan saat penjelajahan. Lalu dibawa ke puskesmas. Dan aku bermimpi sepanjang perjalanan. Ah jadi malu kulihat ada kepala sekolah. Juga guru-guru yang mendampingi perkemahan. “Ah sudah siuaman!” suara Tea kudengar di sebelahku. “Ah kenapa kamu pingsan jadi tidak merasakan serunya penjelajahan.” “Tapi mimpiku sangat seru monik” “Ah kamu, rugi ikut kemah kalau hanya untuk bermimpi.” Seru Rita. Ayo makan yang banyak biar api unggun nanti tidak pingsan dan bisa bernyanyi bersama Iyis, kata Rika meledekku. Pak Guru Afta yang dari tadi melihat celoteh kami di ruang puskesmas hanya tersenyum. “Apa kamu pulang saja Ria?” “Ah tidak pak aku ingin sampai besuk terakhir. Insyaalloh kuat pak. Entahlah kenapa tadi waktu penjelajahan bisa begitu. Aku mohon maaf ya pak, jadi merepotkan semua orang. Ya sudah kembali kalian ke tenda. Dan Ria istirahat dulu ya. Sampai jam sebelas nanti api unggun dimulai.” “Iya pak” jawabku dengan nada malu. “Ah bonpring penuh kisah,” bisikku dalam hati.
Share:

CERPEN "SUARA DI PUNCAK KUBAH"



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-20

SUARA DI PUNCAK KUBAH

          Suasana begitu terik. Sepada motorku tiba-tiba rasanya bergelombang kalau dinaiki. Kulihat ban belakang ternyata sepertinya kempis. “Ah, mungkin bocor,” pikirku. Aku berjalan sambil menuntun sepeda kurang lebih setengah kilo. Belum menemukan tempat tambal ban juga. “Hemm capek juga,” gumamku dalam hati. Ketika mau menyeberang aku dibantu oleh seseorang yang berpakaian santri. Sarung kotak-kotak menghiasi badannya, juga baju takwa putih.

          “Mau menambal ban pak?” tanyanya. “Ya dimana ya pak?” jawabku. “Kalau bapak sabar silakan masuk di Gang sebelah masjid ini pak, insyaalloh tidak hilang setelah solat jumat nanti saya tambal. Bapak bisa duduk di bangku depan rumah sebelah masjid itu. Atau solat jumat di sini.” “Tempat lain ada tidak pak?” tanyaku. “Ada lima ratus meter lagi pak.” “Hadech, kalau menuntun sepeda ini limaratus meter lagi lebih baik aku tunggu di sini saja.” Sepeda kumasukan di gang masjid seperti petunjuk orang itu tadi. Sebenarnya aku mau duduk di depan rumah sebelah masjid itu. Tetapi seorang pria paruh baya menayakan padaku, “Mau solat jumat pak? Di situ tempat wudhunya,” Sambil menunjukkan tangan ke arah sebelah kanan belakang masjid tempat aku meletakkan sepeda. “Ya,” aku jawab sekenanya.

          Semula saya hanya ingin membersihkan muka, karena begitu penatnya perjalan sambil menuntun sepeda. “Allohhuakbar...............Allloh-huakbar” Suara itu mengingatkanku saat di pondok pesantren. Waktu itu aku belum seperti ini. Setiap waktu aku selalu sholat. Tetapi setelah aku keluar dari pondok pesantren dan bekerja kebiasaan itu hilang. Aku selalu merasa dikejar kebutuhan. Sehingga lambat laun waktu sholatku hilang. Lebih tepatnya aku menghilangkan sendiri kesempatan itu. “Hayyaalassalaaah” Suara itu begitu keras dan terasa memilukan jiwaku. Tiba-tiba tanganku membasuhkan air ke mukaku. Terasa segar menusuk sukma. Bayangan di pondok pesantren itu terulang. “Hayyaalalfalaaah” panggilan ini membuat aku menitikkan air mata.

          Selesai wudhu aku memasuki masjid. Masih mendapat tempat agak tengah. “Maasiral muslimiin wazumrotal mukminina rahima-kumullah.” Suara bilal menyentakkan pikiranku. Sudah terlalu lama rasanya aku tidak mendengar ini. Kudengar khatib mulai berkhutbah. “Saudara kaum muslimin yang berbahagia. Shalat bukan hanya merupakan semata-mata kewajiban. Marilah kita renungkan. Betapa suntuknya kita bekerja. Membanting tulang seakan kita tak pernah memperhatikan badan kita sendiri, bahkan nyawa. Ketahuilah ketika kita berwudhu sebenarnya Tuhan tidak hanya menghapus dosa, tetapi Tuhan telah membersihkan debu-debu berkuman dalam wajah dan tangan-tangan kita selama kita berkomunikasi dengan alam. Betapa lengkap sudah peraturan dan nikmat yang diberikan Tuhan ketika kita bisa melakukannya. Saat sholat seperti ini kita juga diberi waktu istirahat dan waktu untuk mencurhatkan segala peluh yang kita rasakan dalam kehidupan kepada pemilik segala keindahan dan solusi dari segala masalah dunia yang digengganya. Kenapa kita selama ini menyiya-nyiyakan waktu yang telah disedikan Tuhan untuk kita. Kita anggap kita mampu segalanya. Padahal terkena masalah sedikit saja hati kita sudah gundah apalagi yang kita inginkan? Semua milik Allah SWT.  Azzawajalla.

          Tiba-tiba pikiranku seperti teriris. Selama ini aku menganggap semuanya kulakukan sendiri. Dan setelah lima anakku lahir dari kandungan istriku. Semua beban hidupku terasa berat. Apalagi istriku tidak bekerja. Ini semua permintaanku. Karena kami tidak menemukan pengasuh bayi di sini sebab aku dan istriku berumah jauh dari saudara. Terasa waktu kuhabiskan hanya untuk bekerja dan bekerja.

          Kudengar lagi suara di puncak kubah menggema. “Istri dan anak-anak adalah harta paling berharga yang dititipkan Tuhan pada kita. Kita adalah seorang pemimpin. Kita harus mampu membawanya ke surga Tuhan dengan penuh kasih sayang. Alloh berfirman Arrijalu kowwamuuna alannisa’. Laki-laki itu pemimpin wanita. Artinya bukan harus berlaku dhalim untuk senantiasa memerintah layaknya budak. Melainkan kita harus memberi contoh dalam segala hal. Memberi contoh berkata baik dan lembut. Memberi contoh bekerja keras dan tidak mengeluh. Memberi contoh ibadah yang baik. Sebagai realisasi peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT. Lalu apakah kita sudah benar-benar menjadi pemimpin bagi keluarga. Ataukah sebaliknya kita hanyalah seorang lelaki yang hanya mau menangnya sendiri ketika berada di rumah terutama kepada istri. Dengan dalil itu kita bisa memerintah ini dan itu kepada istri tanpa memperhatikan apakah dia capek atau tidak. Kita sudah merasa bekerja. Kita anggap istri di rumah tidak bekerja. Padahal betapa banyak pekerjaan yang harus dia lakukan bahkan kadang istri sudah bangun suami masih bisa melanjutkan mimpi.”

          Ah khutbah ini benar-baenar serasa menyerang perasaanku. Tadi pagi aku memarahi istriku dengan kata yang tidak patut. Kukatakan dia bodohlah, lemotlah karena masak belum selesi ketika aku mau berangkat kerja. Aku tidak pernah memikirkan bagaimana capeknya mengurus lima anak-anakku. Tiba-tiba bulir hangat keluar dari sudut mataku. Belum pernah kurasakan seperti ini. Biasanya aku selalu ingin menang sendiri. Kuanggap seorang istri harus menurut apa saja padaku melayani aku semua kepentinganku. “Maafkan aku ya Alloh. Selama ini aku menyia-nyiakannya.”

          Sholat sudah selesai akupun keluar dari masjid. Sepeda motor kubawa kerumah sebelah masjid seperti arahan santri tadi. Kulihat orang tadi yang mengarahkan sepedaku parkir sudah berganti kostum. Sekarang berganti pakaian ala tukang tambal ban. Dikeluarkan seluruh alat-alat nya untuk menambal sepedaku. Tiba-tiba teleponku berdering. Kulihat anakku yang paling besar memanggilku. “Ayah ibu sakit, ibu pinsan.” “Baik kakak ada di rumah?” “ada.”  “Suruh bawa ibu ke puskesmas nanti bapak menyusul.”. Sepeda motorku selesai di tambal. Ah tidak mau kubayar. Ya sudah aku langsung meluncur menuju puskesmas dekat rumah. Rumahku hanya seratus meter dari puskesmas. Kuucapkan terima kasih kepada mas Adi Jaya dan istrinya yang mengantarkan istriku ke puskesmas. Mereka berdua seperti saudara sendiri. Dia bekerja di rumah berdua. Istrinya menjahit dan suaminya memiliki usaha fotokopi dan jual buku dan alat tulis grosir.

          Kulihat wajah istriku kuyu dengan infus ditangan. Kupegang jemarinya. Kurasakan denyutnya sangat lemah. “Maafkan aku selama ini kurang memperhatikanmu. Selalu kasar kata-kataku.” “Tidak apa mas, aku mengerti mas sudah bekerja keras.” “Tumben mas lembut sekali. Biasanya biacaranya meledak.” Ya aku akan berusaha sabar sekarang suara dipuncak kubah itu telah menyadarkanku bahwa kau adalah titipan Tuhan yang sangat berharga untukku. Kukecup jemarinya yang senantiasa beraroma sunlich itu. Aku bahagia istriku tidak sakit parah. Tetapi kecapekan sehingga darahnya drop. Sejak itu aku bantu pekerjaan rumahnya sebelum aku berangkat kerja.
Share:

CERPEN "KUKU PANJANGKU"



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-21
KUKU PANJANGKU

          Sore hari. Senja keemasan diujung barat menerpa jendela rumah kami. Sorot keemasannya menerpa pipi mungil Radiva adikku yang paling kecil. Ganteng lebih putih dari aku. Hidungnya sama mancung tapi orang-orang yang bertemu kami berdua selalu bilang Radiva lebih ganteng. Ah tak apa untung ibuku tak pernah membedakan kami. Hanya kadang ibu selalu menyuruh saya mengalah ketika kami berebut benda mainan atau apa saja. Sepele sich sebenarnya barangnya tapi aku gak suka selalu disuruh mengalah. Kali ini dia diam sekali, kelihatan serius. Selesai mengerjakan tugas seni budaya aku mengerjakan matematika. Tenang, kulihat dia tidak reseh seperti biasanya, selalu minta penghapusku, pensilku, ini kek, itu kek padahal dia sudah punya ah BT banget.

          Aku serius mengerjakan soal matematika tinggal tiga nomor lagi. Kusapa dia. “Radiv, sedang apa kau.” “Lihat lihat lukisan kakak,” jawabnya. “Jangan itu tugas sekolah nanti kotor!” “Aku ingin lihat saja.” Dia memegang erat lukisan kertasku. “Ayo berikan kakak!” Ia tidak mau memberikan malah ditekuknya lukisanku. Ah mulai timbul jengkelku. Kubentak dia. “Kembalikan itu tugas kakak! Besuk kamu kubuatkan sendiri.” “Tidak kakak kemarin katanya mau buatkan ternyata tidak dibuatkan, jadi ini saja untuk saya. “Tidak!” jawabku tegas. Ah di luar dugaanku. Dia malah menyobek lukisanku. Geram sekali. Kucubit tangannya. Dia buang lukisanku. Lalu menangis sejadi jadinya. Ibu terkejut waktu itu ibu solat isyak. Kulihat tangannya berdarah. Aku panik. Tapi dia tidak mau kutolong.

          Adik menangis di mushola rumah tempat ibu sholat. Darah ditangannya bekas kucubit mengenai mukena ibuku. Selesai salam ibu melihat adik. “Astaqfirulloh hal adhim, kenapa ini dik?” “Dicubit kakak.” “Masyaalloh kenapa sampai begini?” “Dia merobek tugas senibudayaku yang sudah kubuat dengan susah payah bu.?” Ibu tidak berkata apa-apa padaku. Tatapannya saja membuat aku merasa sangat bersalah. Kulihat ada tetes bening menetes di pipinya. Tanpa kuduga. Ibu memarahi adik. Ibu mengatakan pada adik. “Adik dengarkan ya, jangan pernah ganggu milik siapapun, ini masih milik kakak jadi kakak hanya mencubit. Tapi kalau milik orang lain adik bisa dipatahkan tangannya. Paham adik. Ketika milik orang lain itu terganggu, maka kadang orang tidak memikirkan bahwa saudara, atau sahabat lebih berharga dari benda milik kita. Jadi adik harus hati-hati ya.” Kalimat ibu sangat menohokku.

          Setelah itu ibu menggendong adik ke kamar. Membuka kotak P3K. Tangan Radiva diobati. Dibersihkan dengan betadin. Aku lihat dari balik jendela kamar ibu lukanya membekas kuku panjangku. Serasa tanganku ikut sakit. Kucoba kucubit sendiri tanganku hingga berdarah seperti adik. Ternyata sangat sakit. Kudengar tangisannya sudah mulai agak reda. Ibu membuatkan jus tomat kesukaannya. Adik tidak suka jus pakai mesin. Sukanya tomatnya diparut, lalu disaring. Memang rasanya beda. Lebih enak yang diparut, terasa alami. Tapi ibu selalu telaten membuatkan makanan kesukaannya ana-anaknya ketika masih kecil agar tidak sampai kurang gizi. Masih ingat ketika masa kecilku aku tidak suka sayur ibu selalu membuatkan dadar telur warna warni semua karena dicarpur sayur bayam yang dihaluskan juga wortel. Ibu maafkan aku kali ini aku membuat hati ibu sedih karena bertengkar dengan adikku yang masih TK. Sedangkan aku sudah kelas sembilan SMP.

          Setelah minum jus adik rupanya tidur. Dalam pulasnya masih ada sisa sengguk tangisnya kudengar. Aku mendekati ibu. “Bu aku minta maaf.” Dirangkulnya aku. Kami berdua menangis. “Diva pernah suatu hari ketika kamu masih kecil, menarik laptop yang ibu letakkan di atas meja. Lalu laptopnya jatuh pecah layarnya. Ibu tidak bisa mengetik di laptop sampai ibu bisa menyerfiskan. Ibu marah. Ibu jengkel. Tapi ibu tidak bisa memukulmu. Kau tahu kenapa? Karena menurut ibu laptop ada tokonya kau masih kecil terlalu kasihan untuk dipukul. Biasakan berfikir bahwa saudara di atas segalanya Diva. Apalagi kalau lukisan kau sudah pandai melukis kau bisa menyelesaikan model seperti itu dalam waktu satu jam. Kenapa kau harus menyakiti adikmu yang belum mengerti yang lukanya itu belum tentu sembuh dalam dua hari?” “Maafkan aku ibu, Diva kilaf, Diva rela ibu cubit sepeti ini.” Sambil kutunjukkan luka tanganku bekas kucubit sendiri.

Ibu malah marah. “Itu tidak perlu kau lakukan juga tindakan menyakiti diri sendiri itu dhalim. Kau tahu kenapa aku tidak memarahimu di depan adikmu, karena biar dia tidak kurang ajar terhadap kakaknya. Meski begitu kau tetap salah selaku saudara tua kau harus menyayanginya. Perhatikan beberapa hari ini kulihat kamu kurang disiplin meletakkan barang-barangmu. Yang penting letakkan di almarimu kan sudah punya almari lalu dikunci. Ibu juga minta maaf karena ibu waktu itu sholat tidak pamit adik tidak kuajak sehingga mengganggumu belajar. Kami pun saling memaafkan.

Pagi hari adik kusapa seperti biasa. Dia memandangku takut dan masih agak marah. Kulihat di wajahnya masih ada jengkel terhadapku. Aku berjanji lukisan yang kubuat lagi setelah kunilaikan akan kuberikan adik. Jam sudah menunjukkan pukul enan aku harus berangkat sekolah. Seperti biasa aku salim pada ibu. Karena kami bertiga saja di rumah. Ayah seorang pelayaran jadi pulangnya lama paling cepat enam bulan sekali.

Pukul tujuh bel sekolah berbunyi. Saat masuk kelas. Jam pertama waktunya seni budaya. Saat menyerahkan lukisan masih terbayang tangan adik yang di tutup dengan perban tipis oleh ibu dan diberi betadin. Ada rasa pilu disudut hatiku. Harusnya aku jadi pelindungnya yang mungil tangannya. Tetapi mengapa aku melukainya. Ah terasa tidak konsentrasi aku belajar.

Saat istirahat kuambil potongan kuku di tas yang sengaja kubawa dari rumah. Untuk memotong kuku panjangku yang melukai adikku. Teman-teman pada heran. “Kenapa kukumu yang kau gunakan main gitar kau potong?” tanya Rizal. “Kukuku telah melukai tangan mungil adikku jadi kupotong saja. Biarlah main gitar bisa dengan alat. Saat istirahat selesai memotong kuku aku tidak makan aku melukis lagi, ya melukiskan untuk adik. Kugambar seorang kakak yang sedang sakit. Lalu diinfus. Trus adiknya menunggui disebelahnya. Lalu kulukis foto adikku juga. Dapat dua lukisan saat istirahat. Teman-temanku heran. “Kenapa kau melukis saja tidak makan di kantin?” “Ah aku mau menebus kesalahanku.” “Salah apa? Pada siapa?” Tanya Widi. “Pada adikku kemarin aku mencubit adikku karena minta lukisanku.” “O kenapa begitu? Aku selalu buatkan adik dulu sebelum aku melukis untuk diriku.” “Iya aku bersalah.”

Bel pulang pun tiba. Saat pulang sekolah seperti mendung. Maka lukisan adikku kubungkus dengan plastik. Kutaruh di tas. Sepanjang perjalanan hujan deras. Tak sengaja ada lubang yang tak terlihat karena tergenang air. Gubrak aku jatuh dari sepeda di deras hujan. Kakiku terbentur aspal jalanan. Terasa hangat darah mengalir. Setelah itu aku tak terasa apa-apa. Yang kutahu aku ada di puskesmas setelah siuman. Sudah kulihat ada ibu, adik, teman-temanku dan guruku. “Mana lukisanku?” “Di tas Diva,” jawab Bu Indra guruku. Waktu itu  beliau bersepeda motor saat melintas di jalan tempat aku jatuh dan beliau yang membawaku ke puskesmas.
“Mana-mana tasku.” Fendy temanku memberikan tasku. Kulihat di tas. Alhamdulillah masih utuh. Lalu kuambil. “Radiva! Lihatlah apa yang kakak punya?” Aku merasa lega Radiva sudah tersenyum padaku sambil menjawab, “Itu lukisan kakak untuk dikumpulkan pada bu guru kan?” “Bukan ini lukisan untukmu.” “Untukku? Terima kasih kak dia menghambur padaku sambil memelukku. “Aduh-aduh! Kakiku sakit pelan-pelan.” Radiva  tersenyum sambil nyengir. Teman-teman kompak berkata, “Satu-satu niye. Tidak patah kan tapi?” Ah tapi nyeri tahu. “Maafkan kakak ya dik.” Radiva tersenyum padaku. “Ya Kak”
Share:

Selasa, 10 April 2018

Cerpen PERAHU KERTAS



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-17

Perahu Kertas

Bulan pada siapa aku harus berbicara bahwa catatan kertas ini untukku tapi cintanya untuknya. Namun untuk menjaga perasaan anak-anak aku harus menyembunyikan ini semua. Pada garis lengkung yang memanjang sepanjang hatiku dan hatimu terasa banyak duri. “Tesa apa lagi yang kau cari dari suami yang telah mengkianatimu?” Tanya Glandi padaku. “Seka-rang aku sudah tidak peduli dengan perasaanku sendiri Glandi. Bagiku sekarang yang ada dalam hatiku adalah tiga permata yang dititipkan Tuhan padaku.” “Itu namanya kamu menyiksa diri. Memperhatikan orang lain bukan berarti melupakan perasaan sendiri.”
Kuminum pesanan jeruk hangat di kafe tempat pertemuan kerja kami. Tapi tak sedetikpun aku ingin membagi rasaku dalam selembar kertas dengan orang lain. Bukan aku tidak memikirkan perasaanku Glandi. Kau tidak tahu bahwa hati setiap anak tetap memikirkan ayahnya kandungnya sendiri meski ayahnya telah menyakiti ibunya. “Heem minum jangan banyak melamun nanti kamu sakit.” “Siapa melamun. Jangankan sekarang anakku telah tiga. Tak sempatlah untuk melamun. Memimirkan mereka bertiga rasanya tidak ada henti. Wajah-wajahnya memang sangat menghibur rasaku. Jika menuruti cemburu aku memang sakit Glandi.” “Jangan sampai kau sakit Tesa. Dunia ini tak selebar daun kelor. Aku tahu kamu sudah bercerai. Suamimu itu kalau ke rumah hanya untuk menengok anaknya itu pun kalau dia sempat. Heem apa kau igin kembali dengannya dan menjadi istri kedua.” Rasanya kalimat Glandi yang ini begitu menyakit-kan. Aku tahu Glandi simpati padaku. Ia memang hidup sebatang kara setelah anak dan istrinya meninggal dalam kecelakaan itu. Ia juga sering traktir aku.  
Entahlah pernyataannya barusan membuat aku ingin pergi dari meja makan kantin. Aku berlari menuju mobil. Masuk kustater mobil dan kutinggalkan dia di kantin tanpa pamit. “Tesa! Tesa! Tesa-Tesa sebentar suaranya agak parau tak kuhiraukan. Tahu tahu dia sudah di depan mobilku. “Gilaaa! Spontan kakiku menginjak rem tapi tetap saja spion kananku menabarak dahinya. Darah mengucur. Aku panik. Kusuruh masuk dia dalam mobilku. Kami tanpa bicara mobil aku gas menuju rumah sakit.
Sebuah luka didahi telah diperban. Wajahnya tersenyum padaku. “Apa kau mau membawaku ke polisi Karena telah mena-brakmu?” “Hemm lain kali kau tidak boleh begitu. Kau itu jangan emosional. Meski kau tak mau menerima cintaku kau tak harus begitu ngebut dalam perjalanan itu berbahaya buatmu. Aku tetap menunggumu. Andai kau tidak menikah denganku aku pun akan menunggumu sebagai sahabatku. Aku sudah tidak punya siapa-siapa di dunia ini. Anak dan istriku sudah tiada. Makanya aku kembali hijrah ke sini. Darimana aku tahu kamu bercerai itu dari kakakmu Darmaji. Meski kita tidak berjodoh kuharap kau tidak membenciku.”
“Bukankah kau orang pertama yang meninggalkanku. Kau tahu hatiku sangat sakit saat kau memilih menikah dengan pilihan ibumu. Tapi aku tahu laki-laki harus berbakti pada orang tuanya. Dan aku pun tetap mendoakan kebaikan untukmu. Aku tidak pernah berharap kau kembali padaku. Makanya sebenarnya sejak setahun sepeninggal istrimu suamiku sudah mulai selingkuh dengan teman sekerjanya itu. Tapi aku tak ingin bercerita padamu. Semua semua demi kebaikanmu supaya kamu ketemu orang yang tepat bukan wanita yang sudah banyak memiliki anak.”
“Heem kenapa kau punya pemikiran begitu. Aku mencintaimu apa adanya. Bagiku anakmu juga anakku. Berbagilah denganku. Jangan siksa batinmu dengan memendam kepedihanmu seorang diri. Ayolah Tesa. Menikahlah denganku. Aku akan mengganti perahu kertas ini menjadi kapal selam untuk kau aku dan anak-anakmu”
 “Beri aku wakyu Glandi, rasanya dalam pikirku semua lelaki sama. Tak ada lagi cinta di sini, dulu ketika kau menikah dengan pilihan ibumu hatiku begitu sakit. Untung aku punya sahabat yang sering mengajakku pengajian. Lambat laun aku bisa memahami bahwa kau ditentukan tidak lagi menjadi jodohku. Sampai suatu hari ada orang yang memperhatikanku, tapi ternyata cintanya hanya di atas kertas. Perahuku perahu kertas, mudah robek dan tenggelam. Untung aku masih diberi kekuatan oleh Tuhan.” Tiba-tiba tak terasa buliran deras mengalir di pipi keruhku. Ah mengapa aku cengeg begini. Saputangan pink terulur dari jafri kekar di depanku. “Maaf kalau aku menyakitimu, bersabarlah, aku akan tetap menjadi sahabatmu sampai kau menemukan orang yang sangat menyayangimu. Berhentilah menguras air mata, sudah saatnya kamu bahagia.” Meski begitu kalimat terakhirnya tak membuat aku jatuh cinta sebab jatuh dari perahu kertas telah membuatku trauma.  
Share:

Advertisement

BTemplates.com

Elegant Themes

Advertisement

Popular Posts