Blog kepenulisan

Sabtu, 05 Mei 2018

UNDANGAN-CERPEN EVENT



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-27

UNDANGAN
Karya: Riami

          Senja merah di ufuk barat. Menusuk rasaku. Seperti undangan merah yang tergeletak di meja makanku. Tertulis nama Jevino dan Bimbi. Mereka adalah kedua sahabatku yang hendak menikah. Jevino kakak kelasku satu tingkat lebih tinggi di Perguruan Tingggi yang sama denganku. Sedangkan Bimbi adalah sahabatku mengikuti ekstra silat mulai dari SMA di perguruan pencat silat Setia Hati di kotaku. Kami sudah seperti saudara. Semula Jevino menaksirku. Aku juga. Tapi kami sama-sama punya ambisi yang berbeda. Jev, begitu aku memanggilnya mengajakku menikah setelah dia lulus kuliah. Sedangkan aku tidak mau aku masih ingin melanjutkan sebab aku terpaut dua tahun dengan Jev. Aku ingin ketika menikah sudah selesai semua pendidikanku. Menurut Jevino wanita harus menurut laki-laki dan melanjutkan pendidikan setelah menikah tidak apa-apa. Aku tidak siap. Setelah punya anak masih harus  memikirkan tugas-tugas kuliah yang belum beres.

“Kamu terlalu memikirkan masa depan Selvi,” kata Jevino suatu hari. “Maksudmu?” tanyaku. “Bagaimana kalau aku jadi menikah dengan orang lain saja kalau menunggumu terlalu lama aku tidak bisa.” Perkataan Jevino sungguh menusuk kalbu dan membuat aku naik pitam. Maka kukatakan saja, “Ya sudah menikah saja.” Aku akan kuliah dulu. Aku tidak menduga itu sungguh-sungguh dilakukan oleh Jevino. Aku berfikir dia mencintaiku dan takkan mening-galkanku. Ah suatu hari siang terik kulihat Jevino keluar dari mobil. Memang Jevino adalah mahasiswa tajir karena selain orang tuanya kaya Jevino adalah mahasiswa yang rajin bekerja. Sebagai calon arsitek dia sudah banyak job bersama dosennya. Ditambah penguasaan preneur yang yang handal aku sangat kagum sebenarnya.

Kulihat dia membuka pintu. Lalu ke pintu sebelah kiri. Dan alangkah terkejutnya. Kulihat ada wanita turun dari mobilnya. “Oh siapa dia pikirku.” Sambil melihat posturnya dari belakang aku tidak tahu siapa dia.

Suatu sore ketika pulang sekolah Jevino mengajakku makan di kafe ternama kesukaan kami. Seperti biasa Jev selalu menraktirku kalau selesai memperoleh job kerja. “Apakah benar kau masih belum mau menikah denganku bulan depan setelah aku wisuda?” “Belum Jev, aku masih mau melanjutkan kuliah dulu tunggu aku satu tahun lagi.” “Aku sudah tidak bisa menunggu selama itu. Satu tahun itu tidak sebentar. Sedangkan kita sudah kenal dua tahun yang lalu apa kamu tidak ingin kita segera syah dan kau menjadi bagian dalam segala suka dukaku menjadi seorang insinyur. Aku juga sudah bekerja apa kamu belum yakin aku bisa menghidupi rumah tangga kita?” “Masalahnya bukan itu, aku masih belum mau tergannggu hal lain saat kuliahku belum selesai.” “Terganggu? Aku malah akan mendukungmu. Kenapa kamu tidak yakin Selvi?” “Bukan begitu aku ingin fokus dulu.” “Ya sudah fokuslah berarti aku tidak bisa menunggumu.” “Berarti kita putus, maksudmu?” “Iya, mohon maaf kita beda ambisi dan pandangan hidup.” Meski aku tidak menyangka ini akan terjadi, tapi entahlah perasaan egoku tak bisa mengalah dari perasaan cintaku. Akhirnya kami putus.
*** *** ***
Satu bulan kemudian ternyata yang kulihat di mobilnya Jevino adalah sahabatku Bimbi. Aku sedih putus dengan Jevino tapi untuk Bimbi aku tetap angkat topi. Aku sangat menyayanginya. Meski sedih aku tak kan merasa benci padanya sebab dia pun tak merebut dari aku. Hanya di sini memang sedang perang ambisi dan aku kalah. Kalau sekarang aku tidak naik di mobilnya mulai pacaran bisa dihitung aku naik di mobilnya Jevino. Aku memang kurang sabar. Lebih suka naik sepeda motor. Cepat bisa nyalip-nyalip asyiik. Ah ternyata sekarang aku harus mulai nyicil bayar ambisiku. Sore ini aku aku ke toko mau cari kado buat mantan dan sahabatku. Rasanya bingung kado apa yang cocok. Aku baru sadar bahwa Jevino seakan sudah memiliki semuanya. Tinggal untuk Bimbi. Wow ada buku judulnya “Cara membahagiakan Suami.” Ah ini saja ditambah boneka kesukaan bimbi.

Malam ini aku ngetik kartu ucapan untuk mereka berdua. Ada rasa perih di hati. Tapi harus kulawan. Aku harus kuat dan berani menerima kenyataan dari hasil ambisiku sendiri.

Buat Jevino dan Bimbi
Selamat menempuh hidup baru
Semoga bahagia dan mawaddah warahmah selalu
Sahabatmu- Selvi
Selvi
 







          Kartu berwarna hijau itu kumasukkan ke dalam kado. “Bimbi aku harap kau bahagia,” Gumamku dalam hati. Rasanya aku tak sabar ingin melihat bimbi bersanding dengan Jevino. Mengapa hatiku bergetar begini. Jujur aku masih cinta sama Jevino. Tapi kami berdua berbeda prinsip yang membuat aku dan dia berpisah.
                   *** *** ***
          Pagi hari di kampus. “Dooor!” terkejut sekali aku. “Ah Kenzi, ngaget-ngagetin aja.” “Kamu nglamun kan, kamu masih mikir Jevino kan?” “Iya sich, tapi mau gimana lagi aku. Jevino tidak sabar menungguku. Dia sudah mau menikah dengan Bimbi.” “Ya kamu harus kuat. Kamu nanti hadir kan acara di rumah Bimbi?” “Pasti Ken sebab Bimbi adalah sahabatku. Dan undangan itu ditujukan untukku. Aku harus hadir. Kau juga kan?” “Iya hee kenapa kamu nangis?” Biar besuk saat pernikahan Jevino tidak nangis lagi.” “Hemm cinta-cinta kalu ngumpul ramai bertengkar, giliran ditinggal kawin nangis.” “Ah kamu belum merasakan jangan ngledek.” Kenzi adalah sahabat di kampus. Tapi dia tak pernah kulihat membawa pacarnya ke kampus juga. “Selvi apa kamu tidak ingin punya pacar lagi. Yang sanggup menunggumu sampai lulus?” “Aku masih ingin sendiri. Tak apalah kalau nanti sore menemaniku menghadiri undangan pernikahan Bimbi dan Jevino. Siapa tahu aku pingsan biar ada yang bawa pulang.” “Ah aku tak percaya kau pingsan. Kamu itu wonder women.” “Masa sich?” “Iya. Seumur hidup baru kali ini aku melihatmu menangis.” Ah kamu jangan ramai aja. Yuk masuk kelas. 
          *** *** ***
          Hari yang ditentukan untuk hadir di pernikahan Bimbi telah tiba. Aku sudah siap di jemput Kenzi. Kami berdua berangkat ke rumah Bimbi naik Grab. Sebab rumah Bimbi jauh di luar kota. “Apa yang kamu ucapkan saat nanti sudah sampai di rumah Bimbi?” “Ya selamat pengantin baru Ken mau apa lagi?” “Ingat jangan pingsan ya. Sebab aku tak akan kuat mengangkat wonder women.” Ah malah pingsan aja, biar kamu repot dan jadi pahlawan. Jangan ganggu rasaku.” “Kamu pasti masih sedih kan putus sama Jevino.” “Ya iyalah Ken, tapi sekarang aku baru sadar bahwa mencintai itu harus berkorban. Biarlah kalau memang ini membahagiakan Jevino. Memang salahku. Aku tak bisa ngalah begitu saja. Aku ingin kuliahku selesai dulu. Tapi Jevino tak mau. Ya mau gimana lagi?”
          Tak terasa sudah sampai destinasi. “Lho kok tidak ada terop, atau janur kuning Ken?” Biasanya pengantin kan itu cirinya. “Ah mungkin tidak pakai.” “Masa Jevino itu orang tajir. Masa menikah begini doang.” “Silakan masuk mbak,” suara penerima tamu menyuruhku. Aku gugup. Kulihat ada tempat prasmanan. Meja dengan kue-kue. Ada panggung kecil tempat penyanyi electone. Belum ketemu Bimbi. Jevino juga di mana dia. Kenapa aku jadi deg-degan ya. Apa mau melepas mantan pacar menjadi milik orang? Ah biar saja. Ken masuk ke belakang. Aku tidak mengikuti. Karena menurut sie acara Bimbi sedang di rias. Jevino belum datang. Aku duduk di deretan kursi agak dekat dengan pianis.
          *** *** ***
          Suasana sepi tidak seperti acara pernikahan sama sekali. Hampir dua puluh menit aku menunggu. Piano yang di mainkan lagu-lagu melo. Membuat aku sedikit baper. Tapi aku harus kuat. Tiba-tiba musik keras. Dan suara MC terdengar memanggil Bimbi. “Bimbi silakan keluar dan menyambut sahabatmu!” seorang gadis cantik sekali. Memakai gaun warna pink. Sama sekali bukan baju pengantin meski di rias. Tapi aku tak berani mengatakan tentunya. Bimbi memelukku aku pun memeluk Bimbi. “Selamat ya Bim.” “Selamat apa?” “Selamat menempuh hidup baru.” “Dengan siapa?” “Ya dengan Jevino.” “Jujur kamu marah padaku atau tidak. Dan kau masih mencintai Jevino atau tidak?” “Aku mencintainya karena itu aku tak bisa melarang untuk hidup bersamamu. Dan aku sangat menyayangimu juga.” “Trimakasih, Selvi. Tapi aku tak hendak menikah dengan Jevino. Pacarku itu Kenzi dia masih mau menyelesaikan skripsinya dulu.” “Lalu undangan itu?” “Jevino kamu harus bertanggung jawab!” suara Bimbi memanggil Jev. Jevino keluar dari ruang tengah memakai Jas hitam sangat tampan. Dia berkata Bimbi ini keponakanku. Undangan itu kubuat satu lembar saja untuk melihat kesungguhanmu ingin melanjutkan kuliah. Aku tak bisa hidup tanpamu Selvi. Aku akan menunggumu sampai selesai kuliah. Apa kamu masih percaya padaku?” Lagu berubah jadi “Happy Birth Day” ternyata ini ulang tahun Bimbi. Oh Jevino hampir saja separuh perjalananku terluka karena harus berpisah denganmu. Ternyata kamu setia. Kamu memahamiku.
Share:

Selasa, 01 Mei 2018

Buruh Sawah-Cerpen Event



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-25
BURUH SAWAH
Karya: Riami

Angin senja ini masih bersahabat dengan Jito buruh sawah di lereng bukit Nuris. Apa yang dilakukan hingga sore begini masih belepotan bermandi lumpur. Menurut jito yang sederhana pemikirannya ini siapa lagi yang mau menggarap sawah di bukit ini. Semua pada lari ke kota mengadu nasip menjadi pekerja pabrik. Bedanya Jito tak mengenal tanggal merah. Tak mengenal hari buruh meski dia seorang buruh. Yang dia tahu pokoknya dia disuruh lembur sampai sore sama majikannya pak Marto. Baginya kalau dia mengayunkan cangkulnya sampai sore, berarti dia bisa menyambung hidup dalam keluarganya di rumah. Kalau sampai siang hanya limapuluh ribu yang dia dapat tapi kalau sampai sore bisa delapan puluh ribu. Lumayan pikir Jito. Bisa menyenangkan istrinya di rumah. Istrinya juga tidak diam dia juga jadi tukang cuci, masak dan setrika di rumah bu Marto.

“Sore ini untung tidak hujan ya kang Jito.” “Iya Mun, kalau hujan tidak bisa lembur. Masih untung kamu punya mesin Mun bisa kerja borongan. Tidak seperti aku. Tapi aku masih untung juga yang buat bedengan dan mencangkul pematang ini belum menggunakan mesin. Kalau itu yang terjadi aku mo kerja apa Mun. Aku dulu kalau disuruh sekolah sama emak malas Mun. Cuma SD doang. La sekarang katanya wajib SMP yo Mun. Wajar sembilan tahun menurut berita sih Mun.” “Iya Kang, tapi semua juga masih tergantung orangnya kang Jito banyak juga yang SMA bahkan sarjana nganggur. Karena mereka menganggab bekerja itu harus sesuai lulusannya. Kalau tidak sesuai lebih baik nganggur. La itu kalau sudah gengsi gede-gedean itu malah susah. Padahal karier itu harus di mulai dari yang kecil. Dulu akau pulang sekolah juga bantu bapakku di sawah. Lalu aku sekolah terus sampai SMK jurusan mesin industri. Aku bekerja di sawah begini bukan berarti aku tidak diterima di perusahaan kang Jito. Tapi aku berfikir harus mengolah sawahku sendiri. Itu pikiranku. La kalau semua kerja ke kota siapa coba produksi padi. Trus sawah-sawah yang subur pada ditanami kayu atau bahkan dijual. La nanti yang beli belum tentu tetap dibuat sawah kang.” “Oalah pikiranmu kok bening. La aku iki tidak pernah memikirkan itu lho Mun.” “ Yo harus Kang Jito. Sawahmu yang sepetak itu jangan dijual. Coba kamu tanami cabe. Pinggirnya kamu tanami ubi, terong, dan sayur lain untungnya lumayan. Apa lagi kalau kemarin lombok sekilo bisa mencapai tujuh puluh ribu rupiah. Ah lumayan betul.” “Betul juga ya Mun.” Sambil membajak Muntaha terus saja menceramahi Jito. “La terus sampeyan yo kudu tetep sinau. Pumpung belum punya anak. Ayo tak ajari di rumah. Trus nanti tak daftarno dikejar paket B di kantor Kepala Desa.” “Biyuh kamu jadi apa tho Mun aku Cuma macul kamu suruh sekolah lagi alah mun otakku wis campur lumpur.” “lho seperti itu yang keliru. Meskipun buruh tani ini kan cuma nasip kamu dan aku sementara waktu. La siapa tahu tiga tahun lagi kamu dan saya jadi juragan kang Jito.” “Walah nglindur opo maneh tho kamu Mun.” “Lho jangan menghina Kang, aku sudah menabung mesin pencetak batako. Nanti rumah-rumah akan langsung pakai batako kang. Sebab batu merah semakin mahal dan buatnya tidak praktis. Masih nunggu dibakar prosesnya lama. Lha kalau batako ini cukup dibuat adonan cor dicetak sehari dua hari kering sudah bisa dipakai.” “Lagu kopi dangdut terdengar di saku Muntaha.”

“Hallo, Assalaamualaikum.” “Walaikaum salam, saya muntaha ada yang bisa dibantu.” “Iya kang aku Tolip, mau pesen batako untuk rumah dan batako untuk halaman. Nanti aku mau ke rumah sampean jam empat sore bisa ya kang.” “Oh bisa-bisa Sekarang pun bisa ke rumah. Silakan lihat. Ada Kamim adik saya di rumah sama istri saya. Nanti bisa pesen. Kalau mau dipakai sekarang langsung bisa diantar adikku. Sorry Lip aku masih bajak sawah. Bentar ya. Tapi aku nanti jam empat sudah pulang kok.” “Iya kang Mun, besuk pakainya nanti tak ke rumah saja kalau ketemu sampean langsung enak.” “Oh ya.” Hp ditutup sama Muntaha. Dimasukkan saku melanjutkan pekerjaan. Terdengar adzan duhur. Muntaha membersihkan badan berganti sarung solat di bawah pohon rindang dengan tikar kecil dan sajadah yang selalu dia bawa kemanapun pergi. Setelah bajak sampai sore Muntaha mau pulang. Tapi Jito memanggil. “Mun kamu keren ya ke sawah aja bawa HP.” “Jaman Now harus keren bang Jito yang penting buat kerja bukan buat mesum. La tadi kang Jito tahu sendiri ta aku ada pesenan Batako lewat Hp.” La trus lik Hpmu jatuh ke sawah klelep piye?” “Ah tidak bisa Lihat sebelum masuk saku ada tali. Dan ada pelindung air. Ni seperti HPnya penyelam.” “Makanya kang Jito silakan sekolah. Nanti biar kalau bacanya lancar selama ini kang Jito gak lancar kan hitung-hitungan sama baca. Nanti kalau kau dah fokus. Kang Jito boleh pakai bajak mesin saya. Nah bajak mesin ini pakai operasional seperti komputer. Makanya jika sebelum mengerjakan saya cek dulu bagaimana ketika satu meter tarikan bisa diukur sama mesinnya berapa jam kira kira per hektar dan perkiraan biaya. Keren kan mesinnya. Dan aku sudah bisa memprediksi penghasilanku sebab satu hektar rata rata hanya butuh waktu dua minggu kalau untuk tanam padi.” “Ooh enak ya Mun.” “Iya semua kerja itu ada enaknya ada tidaknya. Yang penting ditekuni biar hasilnya maksimal.”

“Kamu ekonomimu meningkat terus ya Mun. Semua harus dibarengi usaha keras kang Jito. Jangan pasrah pada nasip. Kita juga harus gali keistimewaan pasangan hidup kita. Bukan kita menyuruh kerja. Tapi contohnya. Istriku bakat untuk merias. Wah lihat to penampilannya. Melihat kemampuannya itu tidak aku marahi malah aku persilahkan aku sekolahkan dia merias manten pokoknya rias wajah. Eh dia bakat. Jadi sekarang buka salon di rumah potong rambut dan kecantikan. Tapi tetap tak kasih uang belanja. Uang ada yang ditabung pribadi ada yang ditabung bersama. Tapi tidak ada rahasia diantara kami. Orang tua selalu kujatah kang Jito baik mertua maupun orangtuaku sendiri. Meskipun tidak sebesar yang dia dapat dari kerja sendiri. Hanya sebagai bukti sedikit bakti.” “Oh iya Mun, istriku pernah minta izin sekolah kecantikan ke saya tapi tidak saya perbolehkan. Salah ya mun aku?” “Yo salah. Sampean ngekang tapi la belanjanya kurang ya kasian istri ta kang. Gak papa kalau mau belajar pada istriku boleh. Bisa silakan.” “Kami juga menulis Kang. Nulis apa ta Mun atasane usaha batako wae kok Nulis. Yo nulis bisnisku kang tak promosikan di Fb, di hp ini. Kalau istriku ya nulis tentang rias. Nanti istrimu bisa baca bukunya tentang rias. Sudah diterbitkan semua.” “Bayar to kang begitu itu?” “Tidak sekarang ada penerbit gratis namanya J-Maestro. La wis ayo mulih. Dah sore.” “Isih kang aku masih mau tanya. Aku tadi serius yang sekolah paket kang. Bayar ta itu.” “La ada yang bea siswa nanti tak coba. Kalau tes dan syaratnya masuk nanti bayare pas ujian ae. Ayo biar bukit Nuris ini bebas buta aksara. Sukses gerakan membaca dan sukses ekonominya. Jangan menunggu perintah siapa-siapa harus kita sendiri memulai. Nanti sore jam lima tak tunggu ya di kantor Desa.

***  ***  ***
 Sore hari jam lima seperempat di kantor Desa. “Assalaamualaikum.” “Waalaikum salam ee kang Muntaha. Ada apa kang.” “Ini mau daftarkan kang Jito paket B masih bisa ya. Oiya. Ada bea siswa gak.” “Kayaknya yang bea siswa maksimal usia dua puluh satu tahun.” “La berarti kamu sudah tidak ada bea siswa sebab sudah dua puluh sembilan tahun.” “ Ya udah gak papa aku tetap daftar. Aku tertarik pingin maca buku-buku pertanian kang Mun.” “Ya wis. Iku kelas e. Iku bapak ibu gurune ya guru di SMP Bukit Nuris ini juga kang. Itu perpustakaannya. Kang Jito bisa melekan di kantor desa ini dua kali seminggu. Khusus yang kerja. Bisa baca-baca jadi kelayapannya ada hasilnya dan pasti tidak dimarahi istri. Jangan lupa besuk istrimu ajak ke rumah ya. Biar belajar rias sama istriku.” “Iya kang.” “Wah kalau di Bukit Nuris ini semua punya pemikiran seperti kang Muntaha dan Kang Jito pasti cepet maju Desa ini.” Celetuk Kepala Desa.
Share:

Sabtu, 28 April 2018

SAJADAH HIJAU/ CERPEN EVENT



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-23
SAJADAH HIJAU

          Hempasan angin sore menyingkap kelambu asrama sekolah di bukit Nuris. Sekolah Favorit. Aku di sini semua karenaMu ya Alloh. Tiada yang lain. Bagaimana mungkin aku seorang anak dari keluarga tidak mampu. Karena kau beri aku sebuah pemikiran yang menurut mereka cerdas padahal menurutku aku hanya anak yang beruntung. Beruntung memiliki ibu yang selalu mendoakan, rela ditinggal di rumah oleh anaknya untuk mencari ilmu. Dalam sajadah hijau ini kulihat senyum ibu yang selalu tulus. Akan kutulis setiap hari puisi-puisi untuk ibu. Aku yakin Tuhan tahu dan mengabulkan keinginanku suatu hari ketika aku sudah lulus nanti.
Sajadah Hijau
Dalam hempas angin sore
Ada wajah ibu dalam sajadah
Mengulum senyum di ujung waktu
Menahan rindu untuk bertemu
Mengukir kasih di sela-sela isak
Ibu...........
Aku merindumu jua dalam simpanan angin waktu aku menunggu bisa dalam dekapmu
          Suasana terasa sunyi. Sore ini anak-anak semua ke ruang tamu menerima kunjungan keluarga. Aku tak bisa berharap itu. Ibuku pasti sedang mengumpulkan uang agar setahun sekali baru bisa ketemu di asrama mewah ini. Rumahku dengan bukit Nuris ini amat jauh. Butuh traspot banyak. Butuh naik pesawat. Ah jangankan untuk naik peasawat tiap bulan untuk makan tiap bulan sudah bersyukur. Biasanya ibu hanya mengirimkan surat dan uang saku lewat pos. Ah ibu semoga aku punya waktu untuk membalas semua perjuanganmu.

          Sore ini kubuka surat dari ibu pertama kali di Bukit Nuris ini.
Salam kangen dari ibu yang hanya bisa menulis doa untukmu. Kuharap kau di tempat baru tabah dalam menuntut ilmu. Sebab ayahmu juga berjuang di negeri orang untukmu mencari ilmu. Semoga kau dan ayahmu tetap dalam lindungan Alloh SWT. Jangan Lupa  Sholat. Ibu yang berharap kau berhasil.    
          Tak kusadari buliran bening ini mengukir kertas yang kubaca. Aku tak boleh menangis. Aku harus belajar. Supaya beasiswaku tak sia-sia. Supaya harapan ibu tak sia-sia. Aku tahu ibu menyembunyikan keadaan ayah. Selama ini ibu selalu bilang ayah bekerja. Tapi aku tak pernah lihat ibu terima kiriman uang dari ayah. Tapi ibu selalu memberiku kesan bangga pada ayah. Ibu selalu bilang kalau ayah dulu pamit kerja. Semoga ini benar. Kubuka foto ayah yang diberikan ibu padaku. Ah menurut ibu aku mirip ayah benarkah? Kulihat memang benar. Ah semoga ayah berhasil dalam bekerja. Semoga pikiran-pikiran burukku karena ayah tak pernah kirim uang sama ibu dihapus oleh Tuhan.

          Hari semakin malam tugas sudah hampir selesai kukerjakan. Tinggal beberapa halaman saja. Ah setelah selesai aku ambil air wudhu, sholat malam. Kudoakan ibuku yang setia menunggu di rumah. Kudoakan ayahku yang wajahnya kulihat hanya lewat foto saja. Semoga Tuhan berikan aku waktu suatu hari bertemu dengan ayah dan bisa bersama ibu. Sampai hampir pagi aku baru bisa tidur.

******************** ********* *********************

Tak terasa aku sudah hampir satu tahun sekolah di sini. Tentu rasa rindu kepada ibuku tetap terasa. Meski sudah hampir terbiasa dan aku sudah tidak suka menangis lagi ketika debar rindu ini ingin bertemu dengan ibu. Buku-buku puisiku yang kutulis tentangku dan kerinduaku pada ibu sudah terbit. Ah menjadi tambahan penghasilanku juga walau belum begitu banyak. Sebagian kusimpan aku berharap nanti ketika ibu hendak berkunjung aku bisa memberikan kejutan uang saku dan baju-baju kesukaan ibuku. Semua kutabung di bank terdekat. Aku juga sudah mulai punya sahabat. Selsa namanya. Ia sangat baik. Menurut orang-orang di sini aku seperti anak kembar. Bagai pinang dibelah dua wajahku dan Selsa. Dia pandai juga. Bahasa Inggrisnya sangat lancar. Satu kamar juga denganku. Ah anaknya meski agak bawel tapi sangat peduli. Ia selalu memberiku oleh-oleh dari orang tuanya. Kue, buku senantiasa berbagi denganku.
         
          Suatu sore waktu aku dan Selsa belajar tiba-tiba foto ayah terjatuh. “Ah siapa ini?” tanya Selsa. “Ayahku.” “Jawabku. Ah masa wajah ayahmu mirip sekali dengan ayahku. Bagaimana mungkin.” “Ah kembar kali, kembar wajah maksudku.” Aku menimpali sambil bergurau. “Ah lihat kurepro ya di hpku biar kuberitahu ayah bahwa kita tidak hanya kembar wajah tapi kembar ayah.” Ah kamu tidak tahu Selsa bahwa itu tidak kembar, kalau ayahmu perhatian tiap dua bulan sekali ke sini. Selalu kirim transfer uang untukmu. Tapi ayahku. Namun aku tak mungkin ini kuceritakan padamu Selsa. Biarlah ini menjadi rahasiaku bersama ibu. Karena ibuku berpesan agar mendoakan ayah saja. Tidak boleh menceritakan atau menanyakannya.

          Malam hari. Sedang belajar di ruang tengah Asrama. Aku belajar bersama Selsa. Tiba tiba pintu asrama diketuk. “Selsa ayahmu datang dan ingin mengajakmu jalan-jalan,” kata pengurus asrama. “Baik!” Selsa menghambur menghampiri ayahnya. Aku berdiri bengong melihat sosok ayah Selsa yang benar-benar kembar dengan foto ayahku. “Dewi Ayu?” Tiba-tiba ayah Selsa menyebut nama ibuku. “Kau mirip sekali Dewi Ayu.” “Siapa Dewi ayu tanya Selsa.” “Dia adalah istri papa juga. Sebelum aku menikahi mamamu. Waktu itu dia baru berumur satu tahun anak gadis kami ketika kami harus bercerai.” Rasanya dunia berputar benar-benar gelap. Tapi aku harus kuat aku tidak boleh pingsan. Benarkah ini ayahku juga ayah Selsa. Kata ibu ayah bekerja, ternyata ia menikah lagi dan memiliki anak sebaya denganku sekolah di sini sama denganku. Dahiku serasa mengkerut. Aku belum percaya.

          Malam ini Selsa jalan-jalan bersama ayahnya. Aku tadi juga diajak tapi aku belum siap. Aku belum bisa menerima bahwa dia ayahku. Bagaimana ini terjadi. Kenapa ibu begitu menyembunyikanku tentang semua ini. Kenapa? Pasti nanti kalau pulang akan kutanyakan semuanya. Oh ibu ingin aku pulang menemuimu. Tapi jarak begitu jauh. Dan sekolahku masih enam bulan lagi. Aku harus bertahan. Aku harus lulus. Pukul sembilan malam kenapa Selsa belum pulang juga. Kenapa aku memikirkannya ya. Padahal ia adalah anak dari orang yang merebut ayahku selama ini. Ah tapi dia baik padaku. Selalu berbagi. Ia juga tidak tahu kisah ini semua pantaskah aku membencinya. Aku tidak boleh membencinya. Ibuku tidak pernah mengajari membenci orang lain. Tuhan maafkan aku yang belum bisa menerima bahwa bahwa ayah Selsa juga ayahku.

          Pintu kamar terbuka. Seorang gadis ceria menenteng belanjaan. Ia buka semua kue-kue dan baju belinya dua. “Kau tahu kenapa ayah membeli dua.” Aku hanya menggeleng kepala. Selsa nerocos. “Semalam ayah sudah bercerita banyak padaku.” Katanaya. “Sebelum menjengukku ke sini, ayahku bertemu dengan ibumu di sebuah kota tempat ayah bertugas. Dari pertemuan itu ibumu bercerita pada ayah bahwa anaknya juga putri ayahku sedang sekolah di sini. Sejak itulah ayah memberiku uang saku dobel yang kuberikan padamu. Aku semula juga tidak mau menerima. Tapi melihat kelembutanmu padaku di sini juga cerita ayah aku berfikiran tidak ada alasan aku untuk membencimu. Maka kuberikan semua uang saku yang dititipkan ayah padamu. Kuharap kau tidak membenci ayah. Ya ayah kita. Lihatlah kau juga dibelikan baju dan kue-kue. Lain waktu kau jangan menolaknya untuk pergi bersama kita saat kunjungan. Aku sudah menerimamu sebagai saudara. Kuharap kau menyayangiku. Suara Selsa bagai membelah batinku. Aku hanya diam. Secara reflek kamipun berpelukan. “Aku tidak punya saudara di sini. Saudaraku hanya kamu. Bagaima denganmu apa juga menganggapku saudaramu?” “Ya, kau saudaraku. Tiba-tiba aku bisa bicara. Selsa suka mendengar itu.

******  *********  *********  ******

          Akhirnya kami pun selesai sekolahnya. Dan hari ini akan wisuda. Aku sudah janji dengan ibu kewat telepon. Beberapa bulan lalu ayah membelikan aku dan ibu telepon genggam agar kami bisa komunikasi. Bajuku dan Selsa di belikan kembar sama ayah. Sore ini terasa indah karena ibu sudah akan tiba di sini untuk menghadiri acara wisudaku besuk. Aku dan selsa menunggu orang tua kami di taman sekolah. Kulihat ada mobil ayahnya Selsa merapat di parkiran dekat taman. Kenapa masih terasa ayahnya Selsa, terasa bukan ayahku. Kulihat mobil terbuka pintu depannya. Lalu keluar sopirnya dalah ayahnya ee ayahku juga. Lalu turun sekarang membuka pintu sebelah kiri. Tampak seorang perempuan sangat cantik dan anggun. Oh jantungku terkejut antara rindu dan kaget. Betaba itu ibuku. Tapi kenapa bisa bersama ayah. Suara nyletuh dari bibirku terdengar oleh Selsa. “Rumi, ku panggil kau kak Rumi sebab umurmu lebih tua empat bulan dari aku. Kukembalikan ayah pada ibumu padamu juga dengan mengijinkan ayah meniahi ibu Dewi ayu. Kuharap kau tak menolak ini dan bisa memaafkan ayah juga ibuku. Aku mohon kak. Dan jangan nodai wisuda keberhasilan kita dengan kisah sedih masa lalu. Sekarang kuharap ayahku juga ayahmu. Dan ibumu juga menjadi ibuku karena ibuku telah tiada.” Kami pun berpelukan dengan erat. Dan tangan ibuku merangkul kami berdua. Rasanya tak ada alasan lagi aku jengkel sebab inilah yang kupinta setiap malam dalam di atas sajadah hijau.
Share:

Advertisement

BTemplates.com

Elegant Themes

Advertisement

Popular Posts