Blog kepenulisan

Sabtu, 05 Mei 2018

UNDANGAN-CERPEN EVENT



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-27

UNDANGAN
Karya: Riami

          Senja merah di ufuk barat. Menusuk rasaku. Seperti undangan merah yang tergeletak di meja makanku. Tertulis nama Jevino dan Bimbi. Mereka adalah kedua sahabatku yang hendak menikah. Jevino kakak kelasku satu tingkat lebih tinggi di Perguruan Tingggi yang sama denganku. Sedangkan Bimbi adalah sahabatku mengikuti ekstra silat mulai dari SMA di perguruan pencat silat Setia Hati di kotaku. Kami sudah seperti saudara. Semula Jevino menaksirku. Aku juga. Tapi kami sama-sama punya ambisi yang berbeda. Jev, begitu aku memanggilnya mengajakku menikah setelah dia lulus kuliah. Sedangkan aku tidak mau aku masih ingin melanjutkan sebab aku terpaut dua tahun dengan Jev. Aku ingin ketika menikah sudah selesai semua pendidikanku. Menurut Jevino wanita harus menurut laki-laki dan melanjutkan pendidikan setelah menikah tidak apa-apa. Aku tidak siap. Setelah punya anak masih harus  memikirkan tugas-tugas kuliah yang belum beres.

“Kamu terlalu memikirkan masa depan Selvi,” kata Jevino suatu hari. “Maksudmu?” tanyaku. “Bagaimana kalau aku jadi menikah dengan orang lain saja kalau menunggumu terlalu lama aku tidak bisa.” Perkataan Jevino sungguh menusuk kalbu dan membuat aku naik pitam. Maka kukatakan saja, “Ya sudah menikah saja.” Aku akan kuliah dulu. Aku tidak menduga itu sungguh-sungguh dilakukan oleh Jevino. Aku berfikir dia mencintaiku dan takkan mening-galkanku. Ah suatu hari siang terik kulihat Jevino keluar dari mobil. Memang Jevino adalah mahasiswa tajir karena selain orang tuanya kaya Jevino adalah mahasiswa yang rajin bekerja. Sebagai calon arsitek dia sudah banyak job bersama dosennya. Ditambah penguasaan preneur yang yang handal aku sangat kagum sebenarnya.

Kulihat dia membuka pintu. Lalu ke pintu sebelah kiri. Dan alangkah terkejutnya. Kulihat ada wanita turun dari mobilnya. “Oh siapa dia pikirku.” Sambil melihat posturnya dari belakang aku tidak tahu siapa dia.

Suatu sore ketika pulang sekolah Jevino mengajakku makan di kafe ternama kesukaan kami. Seperti biasa Jev selalu menraktirku kalau selesai memperoleh job kerja. “Apakah benar kau masih belum mau menikah denganku bulan depan setelah aku wisuda?” “Belum Jev, aku masih mau melanjutkan kuliah dulu tunggu aku satu tahun lagi.” “Aku sudah tidak bisa menunggu selama itu. Satu tahun itu tidak sebentar. Sedangkan kita sudah kenal dua tahun yang lalu apa kamu tidak ingin kita segera syah dan kau menjadi bagian dalam segala suka dukaku menjadi seorang insinyur. Aku juga sudah bekerja apa kamu belum yakin aku bisa menghidupi rumah tangga kita?” “Masalahnya bukan itu, aku masih belum mau tergannggu hal lain saat kuliahku belum selesai.” “Terganggu? Aku malah akan mendukungmu. Kenapa kamu tidak yakin Selvi?” “Bukan begitu aku ingin fokus dulu.” “Ya sudah fokuslah berarti aku tidak bisa menunggumu.” “Berarti kita putus, maksudmu?” “Iya, mohon maaf kita beda ambisi dan pandangan hidup.” Meski aku tidak menyangka ini akan terjadi, tapi entahlah perasaan egoku tak bisa mengalah dari perasaan cintaku. Akhirnya kami putus.
*** *** ***
Satu bulan kemudian ternyata yang kulihat di mobilnya Jevino adalah sahabatku Bimbi. Aku sedih putus dengan Jevino tapi untuk Bimbi aku tetap angkat topi. Aku sangat menyayanginya. Meski sedih aku tak kan merasa benci padanya sebab dia pun tak merebut dari aku. Hanya di sini memang sedang perang ambisi dan aku kalah. Kalau sekarang aku tidak naik di mobilnya mulai pacaran bisa dihitung aku naik di mobilnya Jevino. Aku memang kurang sabar. Lebih suka naik sepeda motor. Cepat bisa nyalip-nyalip asyiik. Ah ternyata sekarang aku harus mulai nyicil bayar ambisiku. Sore ini aku aku ke toko mau cari kado buat mantan dan sahabatku. Rasanya bingung kado apa yang cocok. Aku baru sadar bahwa Jevino seakan sudah memiliki semuanya. Tinggal untuk Bimbi. Wow ada buku judulnya “Cara membahagiakan Suami.” Ah ini saja ditambah boneka kesukaan bimbi.

Malam ini aku ngetik kartu ucapan untuk mereka berdua. Ada rasa perih di hati. Tapi harus kulawan. Aku harus kuat dan berani menerima kenyataan dari hasil ambisiku sendiri.

Buat Jevino dan Bimbi
Selamat menempuh hidup baru
Semoga bahagia dan mawaddah warahmah selalu
Sahabatmu- Selvi
Selvi
 







          Kartu berwarna hijau itu kumasukkan ke dalam kado. “Bimbi aku harap kau bahagia,” Gumamku dalam hati. Rasanya aku tak sabar ingin melihat bimbi bersanding dengan Jevino. Mengapa hatiku bergetar begini. Jujur aku masih cinta sama Jevino. Tapi kami berdua berbeda prinsip yang membuat aku dan dia berpisah.
                   *** *** ***
          Pagi hari di kampus. “Dooor!” terkejut sekali aku. “Ah Kenzi, ngaget-ngagetin aja.” “Kamu nglamun kan, kamu masih mikir Jevino kan?” “Iya sich, tapi mau gimana lagi aku. Jevino tidak sabar menungguku. Dia sudah mau menikah dengan Bimbi.” “Ya kamu harus kuat. Kamu nanti hadir kan acara di rumah Bimbi?” “Pasti Ken sebab Bimbi adalah sahabatku. Dan undangan itu ditujukan untukku. Aku harus hadir. Kau juga kan?” “Iya hee kenapa kamu nangis?” Biar besuk saat pernikahan Jevino tidak nangis lagi.” “Hemm cinta-cinta kalu ngumpul ramai bertengkar, giliran ditinggal kawin nangis.” “Ah kamu belum merasakan jangan ngledek.” Kenzi adalah sahabat di kampus. Tapi dia tak pernah kulihat membawa pacarnya ke kampus juga. “Selvi apa kamu tidak ingin punya pacar lagi. Yang sanggup menunggumu sampai lulus?” “Aku masih ingin sendiri. Tak apalah kalau nanti sore menemaniku menghadiri undangan pernikahan Bimbi dan Jevino. Siapa tahu aku pingsan biar ada yang bawa pulang.” “Ah aku tak percaya kau pingsan. Kamu itu wonder women.” “Masa sich?” “Iya. Seumur hidup baru kali ini aku melihatmu menangis.” Ah kamu jangan ramai aja. Yuk masuk kelas. 
          *** *** ***
          Hari yang ditentukan untuk hadir di pernikahan Bimbi telah tiba. Aku sudah siap di jemput Kenzi. Kami berdua berangkat ke rumah Bimbi naik Grab. Sebab rumah Bimbi jauh di luar kota. “Apa yang kamu ucapkan saat nanti sudah sampai di rumah Bimbi?” “Ya selamat pengantin baru Ken mau apa lagi?” “Ingat jangan pingsan ya. Sebab aku tak akan kuat mengangkat wonder women.” Ah malah pingsan aja, biar kamu repot dan jadi pahlawan. Jangan ganggu rasaku.” “Kamu pasti masih sedih kan putus sama Jevino.” “Ya iyalah Ken, tapi sekarang aku baru sadar bahwa mencintai itu harus berkorban. Biarlah kalau memang ini membahagiakan Jevino. Memang salahku. Aku tak bisa ngalah begitu saja. Aku ingin kuliahku selesai dulu. Tapi Jevino tak mau. Ya mau gimana lagi?”
          Tak terasa sudah sampai destinasi. “Lho kok tidak ada terop, atau janur kuning Ken?” Biasanya pengantin kan itu cirinya. “Ah mungkin tidak pakai.” “Masa Jevino itu orang tajir. Masa menikah begini doang.” “Silakan masuk mbak,” suara penerima tamu menyuruhku. Aku gugup. Kulihat ada tempat prasmanan. Meja dengan kue-kue. Ada panggung kecil tempat penyanyi electone. Belum ketemu Bimbi. Jevino juga di mana dia. Kenapa aku jadi deg-degan ya. Apa mau melepas mantan pacar menjadi milik orang? Ah biar saja. Ken masuk ke belakang. Aku tidak mengikuti. Karena menurut sie acara Bimbi sedang di rias. Jevino belum datang. Aku duduk di deretan kursi agak dekat dengan pianis.
          *** *** ***
          Suasana sepi tidak seperti acara pernikahan sama sekali. Hampir dua puluh menit aku menunggu. Piano yang di mainkan lagu-lagu melo. Membuat aku sedikit baper. Tapi aku harus kuat. Tiba-tiba musik keras. Dan suara MC terdengar memanggil Bimbi. “Bimbi silakan keluar dan menyambut sahabatmu!” seorang gadis cantik sekali. Memakai gaun warna pink. Sama sekali bukan baju pengantin meski di rias. Tapi aku tak berani mengatakan tentunya. Bimbi memelukku aku pun memeluk Bimbi. “Selamat ya Bim.” “Selamat apa?” “Selamat menempuh hidup baru.” “Dengan siapa?” “Ya dengan Jevino.” “Jujur kamu marah padaku atau tidak. Dan kau masih mencintai Jevino atau tidak?” “Aku mencintainya karena itu aku tak bisa melarang untuk hidup bersamamu. Dan aku sangat menyayangimu juga.” “Trimakasih, Selvi. Tapi aku tak hendak menikah dengan Jevino. Pacarku itu Kenzi dia masih mau menyelesaikan skripsinya dulu.” “Lalu undangan itu?” “Jevino kamu harus bertanggung jawab!” suara Bimbi memanggil Jev. Jevino keluar dari ruang tengah memakai Jas hitam sangat tampan. Dia berkata Bimbi ini keponakanku. Undangan itu kubuat satu lembar saja untuk melihat kesungguhanmu ingin melanjutkan kuliah. Aku tak bisa hidup tanpamu Selvi. Aku akan menunggumu sampai selesai kuliah. Apa kamu masih percaya padaku?” Lagu berubah jadi “Happy Birth Day” ternyata ini ulang tahun Bimbi. Oh Jevino hampir saja separuh perjalananku terluka karena harus berpisah denganmu. Ternyata kamu setia. Kamu memahamiku.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Advertisement

BTemplates.com

Elegant Themes

Advertisement

Popular Posts