Blog kepenulisan

Selasa, 01 Mei 2018

Buruh Sawah-Cerpen Event



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-25
BURUH SAWAH
Karya: Riami

Angin senja ini masih bersahabat dengan Jito buruh sawah di lereng bukit Nuris. Apa yang dilakukan hingga sore begini masih belepotan bermandi lumpur. Menurut jito yang sederhana pemikirannya ini siapa lagi yang mau menggarap sawah di bukit ini. Semua pada lari ke kota mengadu nasip menjadi pekerja pabrik. Bedanya Jito tak mengenal tanggal merah. Tak mengenal hari buruh meski dia seorang buruh. Yang dia tahu pokoknya dia disuruh lembur sampai sore sama majikannya pak Marto. Baginya kalau dia mengayunkan cangkulnya sampai sore, berarti dia bisa menyambung hidup dalam keluarganya di rumah. Kalau sampai siang hanya limapuluh ribu yang dia dapat tapi kalau sampai sore bisa delapan puluh ribu. Lumayan pikir Jito. Bisa menyenangkan istrinya di rumah. Istrinya juga tidak diam dia juga jadi tukang cuci, masak dan setrika di rumah bu Marto.

“Sore ini untung tidak hujan ya kang Jito.” “Iya Mun, kalau hujan tidak bisa lembur. Masih untung kamu punya mesin Mun bisa kerja borongan. Tidak seperti aku. Tapi aku masih untung juga yang buat bedengan dan mencangkul pematang ini belum menggunakan mesin. Kalau itu yang terjadi aku mo kerja apa Mun. Aku dulu kalau disuruh sekolah sama emak malas Mun. Cuma SD doang. La sekarang katanya wajib SMP yo Mun. Wajar sembilan tahun menurut berita sih Mun.” “Iya Kang, tapi semua juga masih tergantung orangnya kang Jito banyak juga yang SMA bahkan sarjana nganggur. Karena mereka menganggab bekerja itu harus sesuai lulusannya. Kalau tidak sesuai lebih baik nganggur. La itu kalau sudah gengsi gede-gedean itu malah susah. Padahal karier itu harus di mulai dari yang kecil. Dulu akau pulang sekolah juga bantu bapakku di sawah. Lalu aku sekolah terus sampai SMK jurusan mesin industri. Aku bekerja di sawah begini bukan berarti aku tidak diterima di perusahaan kang Jito. Tapi aku berfikir harus mengolah sawahku sendiri. Itu pikiranku. La kalau semua kerja ke kota siapa coba produksi padi. Trus sawah-sawah yang subur pada ditanami kayu atau bahkan dijual. La nanti yang beli belum tentu tetap dibuat sawah kang.” “Oalah pikiranmu kok bening. La aku iki tidak pernah memikirkan itu lho Mun.” “ Yo harus Kang Jito. Sawahmu yang sepetak itu jangan dijual. Coba kamu tanami cabe. Pinggirnya kamu tanami ubi, terong, dan sayur lain untungnya lumayan. Apa lagi kalau kemarin lombok sekilo bisa mencapai tujuh puluh ribu rupiah. Ah lumayan betul.” “Betul juga ya Mun.” Sambil membajak Muntaha terus saja menceramahi Jito. “La terus sampeyan yo kudu tetep sinau. Pumpung belum punya anak. Ayo tak ajari di rumah. Trus nanti tak daftarno dikejar paket B di kantor Kepala Desa.” “Biyuh kamu jadi apa tho Mun aku Cuma macul kamu suruh sekolah lagi alah mun otakku wis campur lumpur.” “lho seperti itu yang keliru. Meskipun buruh tani ini kan cuma nasip kamu dan aku sementara waktu. La siapa tahu tiga tahun lagi kamu dan saya jadi juragan kang Jito.” “Walah nglindur opo maneh tho kamu Mun.” “Lho jangan menghina Kang, aku sudah menabung mesin pencetak batako. Nanti rumah-rumah akan langsung pakai batako kang. Sebab batu merah semakin mahal dan buatnya tidak praktis. Masih nunggu dibakar prosesnya lama. Lha kalau batako ini cukup dibuat adonan cor dicetak sehari dua hari kering sudah bisa dipakai.” “Lagu kopi dangdut terdengar di saku Muntaha.”

“Hallo, Assalaamualaikum.” “Walaikaum salam, saya muntaha ada yang bisa dibantu.” “Iya kang aku Tolip, mau pesen batako untuk rumah dan batako untuk halaman. Nanti aku mau ke rumah sampean jam empat sore bisa ya kang.” “Oh bisa-bisa Sekarang pun bisa ke rumah. Silakan lihat. Ada Kamim adik saya di rumah sama istri saya. Nanti bisa pesen. Kalau mau dipakai sekarang langsung bisa diantar adikku. Sorry Lip aku masih bajak sawah. Bentar ya. Tapi aku nanti jam empat sudah pulang kok.” “Iya kang Mun, besuk pakainya nanti tak ke rumah saja kalau ketemu sampean langsung enak.” “Oh ya.” Hp ditutup sama Muntaha. Dimasukkan saku melanjutkan pekerjaan. Terdengar adzan duhur. Muntaha membersihkan badan berganti sarung solat di bawah pohon rindang dengan tikar kecil dan sajadah yang selalu dia bawa kemanapun pergi. Setelah bajak sampai sore Muntaha mau pulang. Tapi Jito memanggil. “Mun kamu keren ya ke sawah aja bawa HP.” “Jaman Now harus keren bang Jito yang penting buat kerja bukan buat mesum. La tadi kang Jito tahu sendiri ta aku ada pesenan Batako lewat Hp.” La trus lik Hpmu jatuh ke sawah klelep piye?” “Ah tidak bisa Lihat sebelum masuk saku ada tali. Dan ada pelindung air. Ni seperti HPnya penyelam.” “Makanya kang Jito silakan sekolah. Nanti biar kalau bacanya lancar selama ini kang Jito gak lancar kan hitung-hitungan sama baca. Nanti kalau kau dah fokus. Kang Jito boleh pakai bajak mesin saya. Nah bajak mesin ini pakai operasional seperti komputer. Makanya jika sebelum mengerjakan saya cek dulu bagaimana ketika satu meter tarikan bisa diukur sama mesinnya berapa jam kira kira per hektar dan perkiraan biaya. Keren kan mesinnya. Dan aku sudah bisa memprediksi penghasilanku sebab satu hektar rata rata hanya butuh waktu dua minggu kalau untuk tanam padi.” “Ooh enak ya Mun.” “Iya semua kerja itu ada enaknya ada tidaknya. Yang penting ditekuni biar hasilnya maksimal.”

“Kamu ekonomimu meningkat terus ya Mun. Semua harus dibarengi usaha keras kang Jito. Jangan pasrah pada nasip. Kita juga harus gali keistimewaan pasangan hidup kita. Bukan kita menyuruh kerja. Tapi contohnya. Istriku bakat untuk merias. Wah lihat to penampilannya. Melihat kemampuannya itu tidak aku marahi malah aku persilahkan aku sekolahkan dia merias manten pokoknya rias wajah. Eh dia bakat. Jadi sekarang buka salon di rumah potong rambut dan kecantikan. Tapi tetap tak kasih uang belanja. Uang ada yang ditabung pribadi ada yang ditabung bersama. Tapi tidak ada rahasia diantara kami. Orang tua selalu kujatah kang Jito baik mertua maupun orangtuaku sendiri. Meskipun tidak sebesar yang dia dapat dari kerja sendiri. Hanya sebagai bukti sedikit bakti.” “Oh iya Mun, istriku pernah minta izin sekolah kecantikan ke saya tapi tidak saya perbolehkan. Salah ya mun aku?” “Yo salah. Sampean ngekang tapi la belanjanya kurang ya kasian istri ta kang. Gak papa kalau mau belajar pada istriku boleh. Bisa silakan.” “Kami juga menulis Kang. Nulis apa ta Mun atasane usaha batako wae kok Nulis. Yo nulis bisnisku kang tak promosikan di Fb, di hp ini. Kalau istriku ya nulis tentang rias. Nanti istrimu bisa baca bukunya tentang rias. Sudah diterbitkan semua.” “Bayar to kang begitu itu?” “Tidak sekarang ada penerbit gratis namanya J-Maestro. La wis ayo mulih. Dah sore.” “Isih kang aku masih mau tanya. Aku tadi serius yang sekolah paket kang. Bayar ta itu.” “La ada yang bea siswa nanti tak coba. Kalau tes dan syaratnya masuk nanti bayare pas ujian ae. Ayo biar bukit Nuris ini bebas buta aksara. Sukses gerakan membaca dan sukses ekonominya. Jangan menunggu perintah siapa-siapa harus kita sendiri memulai. Nanti sore jam lima tak tunggu ya di kantor Desa.

***  ***  ***
 Sore hari jam lima seperempat di kantor Desa. “Assalaamualaikum.” “Waalaikum salam ee kang Muntaha. Ada apa kang.” “Ini mau daftarkan kang Jito paket B masih bisa ya. Oiya. Ada bea siswa gak.” “Kayaknya yang bea siswa maksimal usia dua puluh satu tahun.” “La berarti kamu sudah tidak ada bea siswa sebab sudah dua puluh sembilan tahun.” “ Ya udah gak papa aku tetap daftar. Aku tertarik pingin maca buku-buku pertanian kang Mun.” “Ya wis. Iku kelas e. Iku bapak ibu gurune ya guru di SMP Bukit Nuris ini juga kang. Itu perpustakaannya. Kang Jito bisa melekan di kantor desa ini dua kali seminggu. Khusus yang kerja. Bisa baca-baca jadi kelayapannya ada hasilnya dan pasti tidak dimarahi istri. Jangan lupa besuk istrimu ajak ke rumah ya. Biar belajar rias sama istriku.” “Iya kang.” “Wah kalau di Bukit Nuris ini semua punya pemikiran seperti kang Muntaha dan Kang Jito pasti cepet maju Desa ini.” Celetuk Kepala Desa.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Advertisement

BTemplates.com

Elegant Themes

Advertisement

Popular Posts