Blog kepenulisan

Kamis, 24 Mei 2018

BAJU LEBARAN - CERPEN EVENT



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-30

BAJU LEBARAN
Karya: Riami

          Senja di Kaki langit semakin memerah ketika Deno bermain dengan teman sebayanya. Mereka semua membicarakan baju lebaran yang telah dibelikan orang tuanya. Ada yang bercerita sudah dibelikan satu bulan yang lalu, ada yang baru minggu lalu, pokoknya menyenangkan bagi teman-teman Deno yaitu Ryan, Putra dan Yeyen. Mereka semua menceritakannya dengan penuh gembira tanpa memperhatikan perasaan Deno. “Yan bajumu berapa stel?” “Dua, satu baju takwa dan yang satunya baju model kempol, yang ini bagus banget kata ibuku mahal.” “Wah aku tiga stel ada yang baju hem juga. Celananya modenya beda-beda.”
          Dengan sedih Deno mendengar cerita temannya. Ia hanya diam saja.  Ingin sekali membuka celengan ayamnya yang terbuat dari plastik untuk di buat beli baju. Deno berlari ke rumahnya. Bocah kelas tiga SD itu langsung menuju kamarnya. Ia ambil celengan plastiknya dilihatnya sudah penuh. Ia jarang sekali jajan meski hanya diberi uang saku tiga ribu rupiah. Karena jarak sekolah dekat ia biasanya bawa bekal nasi dan air putih dari rumah kalau ada kegiatan sekolah misalnya pramuka. Lalu ia beli gorengan seribu untuk makan. Diteguknya air putih yang dibawanya di botol aqua bekas. Ah tapi dia tidak pernah murung di sekolah. Wajahnya selalu optimis. Pandai sekali ia dalam semua bidang. Kenaikan kelas tahun kemarin ia juara umum di kelas dua. Di kelas tiga ini dia juga juara lagi. Karena itu orang tuanya tak pernah sibuk berfikir tentang biaya sekolah Deno meski sekolah di Sekolah Dasar Favorit. Hanya Deno kurang beruntung nasipnya. Ayahnya yang hanya bekerja sebagi penarik becak itu sering sakit.
          Malam ini ia buka celengan ayam berbahan plastik itu menggunakan pisau. Dilihatnya betapa berjubel uang dua ribuan dalam celengan ayamnya. Ada sebagian yang lima ribuan dan sepuluh ribuan. Ada beberapa lembar yang dua puluh ribuan. Itu semua kalau sedang ada saudara ke rumah lalu diberi uang saku dimasukkannya juga dalam celengan ayamnya.  Ah hatinya senang sekali. Dihitungnya jumlahnya ada delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah. Ah ini pasti cukup untuk membeli baju lebaran untukku dan  buat adikku si cantik Ratri.
          Dia sendirikan lembaran-lembaran dua ribuan, lima ribuan, puluhan dan dua puluhan ribu itu. Tetapi masih banyak yang dua ribuan. Bahkan ada yang agak kumal. Ditaruh diplastik uangnya. Lalu dia  bilang kepada ibunya. “Bu ini uang celengan saya ada delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah bu. Aku ingin sekali beli baju lebaran. Semua teman-teman sudah beli baju.” “Iya nak besuk kita ke toko dekat dekat sini saja sebab kalau ke kota nanti ongkosnya dua kali lipat. Kau paham?” “Paham Bu.” Seperti biasa Deno tak pernah protes. Dia selalu mengiyakan apa yang dikatakan ibunya. Deno juga sangat menyayangi Ratri adiknya. “Hore kita beli baju ya kak?” “Iya sabar ya masih menunggu uangnya ngumpul.” Meski sudah ada Deno tidak bilang. Sebab Ratri selalu minta segalanya dengan cepat.
                   ***  ***  ***
          Sore hari ini semua tampak ceria. Mereka bertiga akan pergi ke toko pakaian di pasar malam desa dekat mereka tinggal. Ratri si bungsu imut suka sekali. Dia meloncat kegirangan. Saat mereka mau berangkat. Mobil angkutan desa berhenti di depan mereka. Ayahnya mengikuti sampai di teras. Tiba-tiba saat akan naik ke angdes ayahnya pingsan. Jantungnya kambuh. Semua bingung. Ini hari libur. Dokter dekat rumah tutup. Akhirnya berbekal kartu Indonesia sehat iya pun pergi ke IGD Puskesmas. Dokter memeriksanya. Dua hari opname di puskesmas. Belum ada perbaikan yang signifikan.
          “Bu, Bapak harus dirujuk ke rumah sakit, sebab ada alat dan obat yang gtidak disediakan oleh puskesmas untuk perawatan bapak. Dan Bapak harus di rawat di poli jantung yang tepat. Agar sakitnya tidak semakin parah.” “Iya Dok.” Mendengar itu semua terpikir uang baju lebaran milik Deno sudah kepakai seratus ribu rupiah. Meski semua biaya perawatan sudah ditanggung BBJS tapi kendaraan dan bebera hal untuk kepentingan menunggu ayahnya kemarin sudah aku gunakan. Dan beberapa dari selama menunggu di puskesmas aku tidak bisa bekerja. Pikir ibu seorang diri.
          “Deno ayah harus dirawat di rumah sakit, bagaimana uangmu?” “Pakailah bu. Itu uang ibu juga. Sekarang tinggal berapa? Tujuh ratus lima puluh dua nak.” Bawalah yang enam ratus untuk bekal menunggu ayah selama rawat inap di rumah sakit. Biarlah yang seratus lima puluh ribu untuk adik beli baju dan makan kami berdua selama ibu tidak ada di rumah.” “Kau memang anak yang baik. Ibu terharu. Masih sekecil ini kau sudah mengerti tentang hidup. Ibu berangkat ke rumah sakit ya nak. Titip adikmu di rumah.” “Iya bu jangan khawatir, kami akan rukun. Silakan ibu tunggui ayah hingga sembuh.”
          Pagi yang cerah. Bulan puasa yang ke enam tanpa ayah dan ibu di rumah.  Mereka kakak beradik. Deno dan Ratri. Ayok kita nanti beli baju.” “Kak deno juga?” “Uangnya kak Deno biar dipakai untuk berobat ayah. Dan kak Deno masih punya baju tahun lalu. Masih bagus. Yuk nanti kita beli baju untuk Ratri.” “Hem kalau kakak punya celengan plastik, Ratri juga punya kak. Kalau kakak punya baju tahun lalu Ratri juga punya. Jadi kali ini kita mending sama-sama gak beli baju lebaran. Karena ada yang lebih penting yaitu kesehatan ayah. Heem lihat celengan Ratri. Celengan Ratri dari tanah liat. Dibantingnya ke tanah. Banyak sekali uang seribu rupiahan bahkan ada yang lima ratus rupiah. Karena uang aku Ratri lebih sedikit dari aku. Alasannya dia masih SD kelas satu pulangnya agak pagi dan lokasinya dekat. Tapi ternyata dia juga masih menyisihkan uangnya. Kami menghitung berdua uang celengan Ratri. Ada tiga ratus ribu rupiah. Ini untuk perawatan ayah juga ya kak. Biar ibu tidak pinkjam ke mana-mana. Ah saya kira adikku masih kecil. Ternyata dia juga paham kondisi. Aku heran sekaligus kagum. “Kata ustatku di Mushalla kalau lebaran itu yang penting puasanya.” “Oh iya, apa lagi kalau uang itu untuk orang tua kita. Pasti hebat. Pasti kita nanti disayang Tuhan. Kami pun tertawa dan berangkulan.
          “Assalaamualaikum!” “waalaikum salam.” “Eh bang Darjo. Masuk Bang.” “Ada apa, Bang?” “Aku tadi ke rumah sakit jenguk ayahmu. Kulihat ibumu menangis di depan kamar jenazah.” “lalu bang?” “Katanya ayahmu meninggal dunia. Dan aku kemari untuk membantu persiapan di rumah untuk menyambut jenazah ayahmu nanti.” “Innalillahi wainna ilaihi roojiuun. Ratri. Semoga kamu kuat nduk.” Ratri menagis sejadi-jadinya. Bahkan sampai bang Darjo memberinya minuman dari tetangga. Katanya biar Ratri tenang. “Aku ingin ayah sembuh. Kak. Aku tidak beli baju tidak apa-apa kak. Kenapa ayah meninggal kak. Kenapa kaaaakkk!” Suara Ratri hampir seperti tercekik. “Ratri umur kita tidak ikut memiliki. Tuhan sayang sama ayah kita. Karena itu dia memanggilnya. Lihatlah Tuhan memanggil saat bulan puasa. Ini bulan penuh berkah. Penuh ampunan. Ayah pasti sudah di sediakan tempat di surga. Dan dibebaskan dari rasa sakitnya.” Deno menghibur Ratri. Meski sudah agak diam tapi masih terisak di pangkuan Deno. Orang-orang semakin banyak yang berdatangan untuk takziah. Apa lagi Ayahnya Deno aktif di kampung sebelum dia sakit.
          Mobil ambulan datang. Suaranya meraung memecah kesunyian. Berhenti tepat di depan rumah Deno. Jenazah diturunkan dari ambulan. Tempat untuk memandikan sudah disiapkan. Tampak masih segar dan tampan mayat ayahnya Deno. Deno juga ikut memandikan. Ratri kecil hanya melihat sambil memegangi baju ibunya. Masih terisak dia. Dan sudah disiapkan di masjid dekat rumahnya untuk menyolatinya. Didengarkan Sie kesra Desa memberikan sambutan. “Assalaamualaikum Warohmatullohi wabarookaatuh. Yang terhormat bapak ibu yang hadir dalam acara pemberangkatan pemakaman bapak Hainudin. Perlu kami sampaikan secara pribadi bahwa selama hidup bapak Hainudin adalah orang yang baik dan supel dalam bergaul buktinya ia selalu aktif kegiatan kampung. Apa menurut bapak ibu juga begitu?” “Yaa baik.” Terdengar jawaban pelayat serentak. “Apakah bapak Hainudin punya tanggungan?” “Tidak” Malah ada salah satu warga yang maju. “Saya pengurus koperasi desa, Pak Hainudin masih punya tabungan sebesar limaratus ribu rupiah. Biasanya diambil menjelang lebaran. Nanti pengurus akan ke rumah duka sambil mengantar santunan. Terima kasih.” Akhirnya Jenazah ayahnya Deno pun diberangkatkan ke makam umum Desanya. “Deno!” Ibunya merangkul Deno. “Kita akan kehilangan Ayah untuk selamanya bu.”
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Advertisement

BTemplates.com

Elegant Themes

Advertisement

Popular Posts