Blog kepenulisan

Jumat, 20 April 2018

CERPEN "SUARA DI PUNCAK KUBAH"



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-20

SUARA DI PUNCAK KUBAH

          Suasana begitu terik. Sepada motorku tiba-tiba rasanya bergelombang kalau dinaiki. Kulihat ban belakang ternyata sepertinya kempis. “Ah, mungkin bocor,” pikirku. Aku berjalan sambil menuntun sepeda kurang lebih setengah kilo. Belum menemukan tempat tambal ban juga. “Hemm capek juga,” gumamku dalam hati. Ketika mau menyeberang aku dibantu oleh seseorang yang berpakaian santri. Sarung kotak-kotak menghiasi badannya, juga baju takwa putih.

          “Mau menambal ban pak?” tanyanya. “Ya dimana ya pak?” jawabku. “Kalau bapak sabar silakan masuk di Gang sebelah masjid ini pak, insyaalloh tidak hilang setelah solat jumat nanti saya tambal. Bapak bisa duduk di bangku depan rumah sebelah masjid itu. Atau solat jumat di sini.” “Tempat lain ada tidak pak?” tanyaku. “Ada lima ratus meter lagi pak.” “Hadech, kalau menuntun sepeda ini limaratus meter lagi lebih baik aku tunggu di sini saja.” Sepeda kumasukan di gang masjid seperti petunjuk orang itu tadi. Sebenarnya aku mau duduk di depan rumah sebelah masjid itu. Tetapi seorang pria paruh baya menayakan padaku, “Mau solat jumat pak? Di situ tempat wudhunya,” Sambil menunjukkan tangan ke arah sebelah kanan belakang masjid tempat aku meletakkan sepeda. “Ya,” aku jawab sekenanya.

          Semula saya hanya ingin membersihkan muka, karena begitu penatnya perjalan sambil menuntun sepeda. “Allohhuakbar...............Allloh-huakbar” Suara itu mengingatkanku saat di pondok pesantren. Waktu itu aku belum seperti ini. Setiap waktu aku selalu sholat. Tetapi setelah aku keluar dari pondok pesantren dan bekerja kebiasaan itu hilang. Aku selalu merasa dikejar kebutuhan. Sehingga lambat laun waktu sholatku hilang. Lebih tepatnya aku menghilangkan sendiri kesempatan itu. “Hayyaalassalaaah” Suara itu begitu keras dan terasa memilukan jiwaku. Tiba-tiba tanganku membasuhkan air ke mukaku. Terasa segar menusuk sukma. Bayangan di pondok pesantren itu terulang. “Hayyaalalfalaaah” panggilan ini membuat aku menitikkan air mata.

          Selesai wudhu aku memasuki masjid. Masih mendapat tempat agak tengah. “Maasiral muslimiin wazumrotal mukminina rahima-kumullah.” Suara bilal menyentakkan pikiranku. Sudah terlalu lama rasanya aku tidak mendengar ini. Kudengar khatib mulai berkhutbah. “Saudara kaum muslimin yang berbahagia. Shalat bukan hanya merupakan semata-mata kewajiban. Marilah kita renungkan. Betapa suntuknya kita bekerja. Membanting tulang seakan kita tak pernah memperhatikan badan kita sendiri, bahkan nyawa. Ketahuilah ketika kita berwudhu sebenarnya Tuhan tidak hanya menghapus dosa, tetapi Tuhan telah membersihkan debu-debu berkuman dalam wajah dan tangan-tangan kita selama kita berkomunikasi dengan alam. Betapa lengkap sudah peraturan dan nikmat yang diberikan Tuhan ketika kita bisa melakukannya. Saat sholat seperti ini kita juga diberi waktu istirahat dan waktu untuk mencurhatkan segala peluh yang kita rasakan dalam kehidupan kepada pemilik segala keindahan dan solusi dari segala masalah dunia yang digengganya. Kenapa kita selama ini menyiya-nyiyakan waktu yang telah disedikan Tuhan untuk kita. Kita anggap kita mampu segalanya. Padahal terkena masalah sedikit saja hati kita sudah gundah apalagi yang kita inginkan? Semua milik Allah SWT.  Azzawajalla.

          Tiba-tiba pikiranku seperti teriris. Selama ini aku menganggap semuanya kulakukan sendiri. Dan setelah lima anakku lahir dari kandungan istriku. Semua beban hidupku terasa berat. Apalagi istriku tidak bekerja. Ini semua permintaanku. Karena kami tidak menemukan pengasuh bayi di sini sebab aku dan istriku berumah jauh dari saudara. Terasa waktu kuhabiskan hanya untuk bekerja dan bekerja.

          Kudengar lagi suara di puncak kubah menggema. “Istri dan anak-anak adalah harta paling berharga yang dititipkan Tuhan pada kita. Kita adalah seorang pemimpin. Kita harus mampu membawanya ke surga Tuhan dengan penuh kasih sayang. Alloh berfirman Arrijalu kowwamuuna alannisa’. Laki-laki itu pemimpin wanita. Artinya bukan harus berlaku dhalim untuk senantiasa memerintah layaknya budak. Melainkan kita harus memberi contoh dalam segala hal. Memberi contoh berkata baik dan lembut. Memberi contoh bekerja keras dan tidak mengeluh. Memberi contoh ibadah yang baik. Sebagai realisasi peningkatan ketakwaan kepada Allah SWT. Lalu apakah kita sudah benar-benar menjadi pemimpin bagi keluarga. Ataukah sebaliknya kita hanyalah seorang lelaki yang hanya mau menangnya sendiri ketika berada di rumah terutama kepada istri. Dengan dalil itu kita bisa memerintah ini dan itu kepada istri tanpa memperhatikan apakah dia capek atau tidak. Kita sudah merasa bekerja. Kita anggap istri di rumah tidak bekerja. Padahal betapa banyak pekerjaan yang harus dia lakukan bahkan kadang istri sudah bangun suami masih bisa melanjutkan mimpi.”

          Ah khutbah ini benar-baenar serasa menyerang perasaanku. Tadi pagi aku memarahi istriku dengan kata yang tidak patut. Kukatakan dia bodohlah, lemotlah karena masak belum selesi ketika aku mau berangkat kerja. Aku tidak pernah memikirkan bagaimana capeknya mengurus lima anak-anakku. Tiba-tiba bulir hangat keluar dari sudut mataku. Belum pernah kurasakan seperti ini. Biasanya aku selalu ingin menang sendiri. Kuanggap seorang istri harus menurut apa saja padaku melayani aku semua kepentinganku. “Maafkan aku ya Alloh. Selama ini aku menyia-nyiakannya.”

          Sholat sudah selesai akupun keluar dari masjid. Sepeda motor kubawa kerumah sebelah masjid seperti arahan santri tadi. Kulihat orang tadi yang mengarahkan sepedaku parkir sudah berganti kostum. Sekarang berganti pakaian ala tukang tambal ban. Dikeluarkan seluruh alat-alat nya untuk menambal sepedaku. Tiba-tiba teleponku berdering. Kulihat anakku yang paling besar memanggilku. “Ayah ibu sakit, ibu pinsan.” “Baik kakak ada di rumah?” “ada.”  “Suruh bawa ibu ke puskesmas nanti bapak menyusul.”. Sepeda motorku selesai di tambal. Ah tidak mau kubayar. Ya sudah aku langsung meluncur menuju puskesmas dekat rumah. Rumahku hanya seratus meter dari puskesmas. Kuucapkan terima kasih kepada mas Adi Jaya dan istrinya yang mengantarkan istriku ke puskesmas. Mereka berdua seperti saudara sendiri. Dia bekerja di rumah berdua. Istrinya menjahit dan suaminya memiliki usaha fotokopi dan jual buku dan alat tulis grosir.

          Kulihat wajah istriku kuyu dengan infus ditangan. Kupegang jemarinya. Kurasakan denyutnya sangat lemah. “Maafkan aku selama ini kurang memperhatikanmu. Selalu kasar kata-kataku.” “Tidak apa mas, aku mengerti mas sudah bekerja keras.” “Tumben mas lembut sekali. Biasanya biacaranya meledak.” Ya aku akan berusaha sabar sekarang suara dipuncak kubah itu telah menyadarkanku bahwa kau adalah titipan Tuhan yang sangat berharga untukku. Kukecup jemarinya yang senantiasa beraroma sunlich itu. Aku bahagia istriku tidak sakit parah. Tetapi kecapekan sehingga darahnya drop. Sejak itu aku bantu pekerjaan rumahnya sebelum aku berangkat kerja.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Advertisement

BTemplates.com

Elegant Themes

Advertisement

Popular Posts