Blog kepenulisan

Jumat, 20 April 2018

CERPEN "KUKU PANJANGKU"



#Event_1_karya_1_hari_dalam_30_hari
#JisaAFTa
Karya ke-21
KUKU PANJANGKU

          Sore hari. Senja keemasan diujung barat menerpa jendela rumah kami. Sorot keemasannya menerpa pipi mungil Radiva adikku yang paling kecil. Ganteng lebih putih dari aku. Hidungnya sama mancung tapi orang-orang yang bertemu kami berdua selalu bilang Radiva lebih ganteng. Ah tak apa untung ibuku tak pernah membedakan kami. Hanya kadang ibu selalu menyuruh saya mengalah ketika kami berebut benda mainan atau apa saja. Sepele sich sebenarnya barangnya tapi aku gak suka selalu disuruh mengalah. Kali ini dia diam sekali, kelihatan serius. Selesai mengerjakan tugas seni budaya aku mengerjakan matematika. Tenang, kulihat dia tidak reseh seperti biasanya, selalu minta penghapusku, pensilku, ini kek, itu kek padahal dia sudah punya ah BT banget.

          Aku serius mengerjakan soal matematika tinggal tiga nomor lagi. Kusapa dia. “Radiv, sedang apa kau.” “Lihat lihat lukisan kakak,” jawabnya. “Jangan itu tugas sekolah nanti kotor!” “Aku ingin lihat saja.” Dia memegang erat lukisan kertasku. “Ayo berikan kakak!” Ia tidak mau memberikan malah ditekuknya lukisanku. Ah mulai timbul jengkelku. Kubentak dia. “Kembalikan itu tugas kakak! Besuk kamu kubuatkan sendiri.” “Tidak kakak kemarin katanya mau buatkan ternyata tidak dibuatkan, jadi ini saja untuk saya. “Tidak!” jawabku tegas. Ah di luar dugaanku. Dia malah menyobek lukisanku. Geram sekali. Kucubit tangannya. Dia buang lukisanku. Lalu menangis sejadi jadinya. Ibu terkejut waktu itu ibu solat isyak. Kulihat tangannya berdarah. Aku panik. Tapi dia tidak mau kutolong.

          Adik menangis di mushola rumah tempat ibu sholat. Darah ditangannya bekas kucubit mengenai mukena ibuku. Selesai salam ibu melihat adik. “Astaqfirulloh hal adhim, kenapa ini dik?” “Dicubit kakak.” “Masyaalloh kenapa sampai begini?” “Dia merobek tugas senibudayaku yang sudah kubuat dengan susah payah bu.?” Ibu tidak berkata apa-apa padaku. Tatapannya saja membuat aku merasa sangat bersalah. Kulihat ada tetes bening menetes di pipinya. Tanpa kuduga. Ibu memarahi adik. Ibu mengatakan pada adik. “Adik dengarkan ya, jangan pernah ganggu milik siapapun, ini masih milik kakak jadi kakak hanya mencubit. Tapi kalau milik orang lain adik bisa dipatahkan tangannya. Paham adik. Ketika milik orang lain itu terganggu, maka kadang orang tidak memikirkan bahwa saudara, atau sahabat lebih berharga dari benda milik kita. Jadi adik harus hati-hati ya.” Kalimat ibu sangat menohokku.

          Setelah itu ibu menggendong adik ke kamar. Membuka kotak P3K. Tangan Radiva diobati. Dibersihkan dengan betadin. Aku lihat dari balik jendela kamar ibu lukanya membekas kuku panjangku. Serasa tanganku ikut sakit. Kucoba kucubit sendiri tanganku hingga berdarah seperti adik. Ternyata sangat sakit. Kudengar tangisannya sudah mulai agak reda. Ibu membuatkan jus tomat kesukaannya. Adik tidak suka jus pakai mesin. Sukanya tomatnya diparut, lalu disaring. Memang rasanya beda. Lebih enak yang diparut, terasa alami. Tapi ibu selalu telaten membuatkan makanan kesukaannya ana-anaknya ketika masih kecil agar tidak sampai kurang gizi. Masih ingat ketika masa kecilku aku tidak suka sayur ibu selalu membuatkan dadar telur warna warni semua karena dicarpur sayur bayam yang dihaluskan juga wortel. Ibu maafkan aku kali ini aku membuat hati ibu sedih karena bertengkar dengan adikku yang masih TK. Sedangkan aku sudah kelas sembilan SMP.

          Setelah minum jus adik rupanya tidur. Dalam pulasnya masih ada sisa sengguk tangisnya kudengar. Aku mendekati ibu. “Bu aku minta maaf.” Dirangkulnya aku. Kami berdua menangis. “Diva pernah suatu hari ketika kamu masih kecil, menarik laptop yang ibu letakkan di atas meja. Lalu laptopnya jatuh pecah layarnya. Ibu tidak bisa mengetik di laptop sampai ibu bisa menyerfiskan. Ibu marah. Ibu jengkel. Tapi ibu tidak bisa memukulmu. Kau tahu kenapa? Karena menurut ibu laptop ada tokonya kau masih kecil terlalu kasihan untuk dipukul. Biasakan berfikir bahwa saudara di atas segalanya Diva. Apalagi kalau lukisan kau sudah pandai melukis kau bisa menyelesaikan model seperti itu dalam waktu satu jam. Kenapa kau harus menyakiti adikmu yang belum mengerti yang lukanya itu belum tentu sembuh dalam dua hari?” “Maafkan aku ibu, Diva kilaf, Diva rela ibu cubit sepeti ini.” Sambil kutunjukkan luka tanganku bekas kucubit sendiri.

Ibu malah marah. “Itu tidak perlu kau lakukan juga tindakan menyakiti diri sendiri itu dhalim. Kau tahu kenapa aku tidak memarahimu di depan adikmu, karena biar dia tidak kurang ajar terhadap kakaknya. Meski begitu kau tetap salah selaku saudara tua kau harus menyayanginya. Perhatikan beberapa hari ini kulihat kamu kurang disiplin meletakkan barang-barangmu. Yang penting letakkan di almarimu kan sudah punya almari lalu dikunci. Ibu juga minta maaf karena ibu waktu itu sholat tidak pamit adik tidak kuajak sehingga mengganggumu belajar. Kami pun saling memaafkan.

Pagi hari adik kusapa seperti biasa. Dia memandangku takut dan masih agak marah. Kulihat di wajahnya masih ada jengkel terhadapku. Aku berjanji lukisan yang kubuat lagi setelah kunilaikan akan kuberikan adik. Jam sudah menunjukkan pukul enan aku harus berangkat sekolah. Seperti biasa aku salim pada ibu. Karena kami bertiga saja di rumah. Ayah seorang pelayaran jadi pulangnya lama paling cepat enam bulan sekali.

Pukul tujuh bel sekolah berbunyi. Saat masuk kelas. Jam pertama waktunya seni budaya. Saat menyerahkan lukisan masih terbayang tangan adik yang di tutup dengan perban tipis oleh ibu dan diberi betadin. Ada rasa pilu disudut hatiku. Harusnya aku jadi pelindungnya yang mungil tangannya. Tetapi mengapa aku melukainya. Ah terasa tidak konsentrasi aku belajar.

Saat istirahat kuambil potongan kuku di tas yang sengaja kubawa dari rumah. Untuk memotong kuku panjangku yang melukai adikku. Teman-teman pada heran. “Kenapa kukumu yang kau gunakan main gitar kau potong?” tanya Rizal. “Kukuku telah melukai tangan mungil adikku jadi kupotong saja. Biarlah main gitar bisa dengan alat. Saat istirahat selesai memotong kuku aku tidak makan aku melukis lagi, ya melukiskan untuk adik. Kugambar seorang kakak yang sedang sakit. Lalu diinfus. Trus adiknya menunggui disebelahnya. Lalu kulukis foto adikku juga. Dapat dua lukisan saat istirahat. Teman-temanku heran. “Kenapa kau melukis saja tidak makan di kantin?” “Ah aku mau menebus kesalahanku.” “Salah apa? Pada siapa?” Tanya Widi. “Pada adikku kemarin aku mencubit adikku karena minta lukisanku.” “O kenapa begitu? Aku selalu buatkan adik dulu sebelum aku melukis untuk diriku.” “Iya aku bersalah.”

Bel pulang pun tiba. Saat pulang sekolah seperti mendung. Maka lukisan adikku kubungkus dengan plastik. Kutaruh di tas. Sepanjang perjalanan hujan deras. Tak sengaja ada lubang yang tak terlihat karena tergenang air. Gubrak aku jatuh dari sepeda di deras hujan. Kakiku terbentur aspal jalanan. Terasa hangat darah mengalir. Setelah itu aku tak terasa apa-apa. Yang kutahu aku ada di puskesmas setelah siuman. Sudah kulihat ada ibu, adik, teman-temanku dan guruku. “Mana lukisanku?” “Di tas Diva,” jawab Bu Indra guruku. Waktu itu  beliau bersepeda motor saat melintas di jalan tempat aku jatuh dan beliau yang membawaku ke puskesmas.
“Mana-mana tasku.” Fendy temanku memberikan tasku. Kulihat di tas. Alhamdulillah masih utuh. Lalu kuambil. “Radiva! Lihatlah apa yang kakak punya?” Aku merasa lega Radiva sudah tersenyum padaku sambil menjawab, “Itu lukisan kakak untuk dikumpulkan pada bu guru kan?” “Bukan ini lukisan untukmu.” “Untukku? Terima kasih kak dia menghambur padaku sambil memelukku. “Aduh-aduh! Kakiku sakit pelan-pelan.” Radiva  tersenyum sambil nyengir. Teman-teman kompak berkata, “Satu-satu niye. Tidak patah kan tapi?” Ah tapi nyeri tahu. “Maafkan kakak ya dik.” Radiva tersenyum padaku. “Ya Kak”
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Advertisement

BTemplates.com

Elegant Themes

Advertisement

Popular Posts